Menasbihkan Cinta-Mu *
oleh: Kurnia Hidayati
kecuali pundak memberat, elan kita masih cukup seperti nyala senter penuh baterai
:belum mau redup
langgar belum bosan melompong
kita datang sambil membopong
kitab langit
speaker menyuarakan nada-nada getar
sebelum bunyi ayat datang melambar
menggambar
langit ramadhan
malam melarut
mushaf berlembar belum mengkerut
kita berganti-ganti mengeja, huruf demi huruf
memahami harakat, tanda baca, kaidah-kaidah, juga mad-mad yang penuh
menghias kata-kataNya
tadarus sunyi ini
di langgar dingin
minim kabar
kita melansir ayat-ayat
lewat speaker yang kadang mati
namun, niat kita terus berkobar
mengejar
pahala dari
Tuhan yang Maha Sabar
Batang, 29 Juli
Oleh: Kurnia Hidayati
sengaja kubenci rumah sakit. Ibu bilang, rumah sakit adalah tempat
jiwa-jiwa malang. Jika siang, orang-orang antri di muka loket menanti
kepastian; bermata sayu, bermata nyalang. Ada yang cepat, ada yang tak
kunjung datang.
sengaja kuhindari rumah sakit. Kata Ibu,
rumah sakit adalah rumah bagi rasa nyeri yang buntu. Bukan hanya pada
malam, pasien terbaring tidur merenda harap dipanjangkan umur. Atau
obat-obatan yang dipaksa terulur ke dalam daya tubuh sarat mengendur.
sengaja
kubuat jarak dengan rumah sakit. Pesan Ibu, jagalah kesehatan. Sebab
harganya lebih mahal dari emas permata. Ibu, aku takut dengan bau
desinfektan. Atau teriak sirine ambulan.
sengaja kutulis
puisi tentang rumah sakit. Ibu berujar, jangan kau benci rumah sakit.
Kau hanya perlu bersyukur dan menjaga setiap nikmat dariNya.
Batang, 21 Juli 2012
1/
hanya pada kedua bola matamu, laut membadai lantas tenang, menyebarlah hawa dingin meremas tulang
ujung kukumu berkilat cahaya, serupa kunang yang nyala tanpa bayang dalam gelap menyergap
seperti kolong ranjang tanpa lampu
hitam hadir tiap waktu
2/
duhai temaram kian mencederai bohlam, memainkan warnawarna kuning.
Sementara tang-ting gelas makin bebas membawa nyala ke batas hari di
batas hati
apakah kau membisikkan senja?
Ketika pijar lampu benarbenar liar, melukai dada kita. Semakin dalam masa meruncingkan kenang.
Pijar lampu membawa bayangmu.
batang, 23 mei 2012
Di Kelok Pantura, Di Bawah Atap
a/
merapatlah ia di bilik temaram, tempat tinggal rasa gamang. sementara pengap kian menyergap, haus tenggorokan membikin radang
lagi
di kelok jalan pantura yang berlubang aspalnya
telah terbayar sudah segala lara
telah berakhir sudah segala rasa
bernama cinta. Di mana cinta menjadi omong kosong, dan rupiah mau tak mau harus diboyong.
di bawah atap bisu, seseorang datang untuk menunggu
di luar, malam merayap begitu cepat
hanya minyak wangi dan bibir memerah gincu
hadir menjadi teman teramat dekat
b/
Oh, apa yang digelayut gerimis beraroma sesal?
Sementara ia telah tumbuh menjadi kupu-kupu kebal
Menelurusi mimpi, caci tak terhitung lagi
Relakah ia dimaki?
Batang, 10 Februari 2012
Ini puisiku yang nasibnya kurang beruntung dalam suatu lomba.
Silahkan dibantai.
:D
inilah kata-kata yang coba kutata lantas kuterbangkan menuju rumah hatimu
tempat segala kenang kualamatkan
bersama waktu pernah kita menghtung mundur
perih luka yang digoreskan masa dalam bilangan umur
maka terimalah!
terimalah, sayang. sajak-sajak yang dulu pernah hilang digerus arus
sungai deras. serupa doa-doa yang satu dua sering kita ucap lantas menuai amin di sisi-sisnya. di setiap sudutnya.
menunggui harap.
inilah kata-kata yang kunamai sajak lalu kuantarkan ke depan gerbang
terimalah! terimalah, sayang!
Batang, 24 April 2012
kepada Alvian
tak perlulah kau bimbang
menimang-nimang mana yang seimbang
seperti neraca yang kehilangan titik ambang
setara
janganlah kau merupa pendulum
yang semakin goncang kemana
entah
meski dicium sepoi angin yang merautkan musim-musim
di dadamu
maka kupilih menunjuk saja
apapun pilihanmu
:)
Batang, 23 April 2012
akhirnya musim menderaskan kesunyian
pada hujan berkepanjangan atau kemarau yang sebentar
sebentar membikin pasi wajah petani
yang sawahnya mati
suri
lalu cuaca memainkan tanda
tanda yang rupa merupa kuasa
Tuhan
menjajal
iman
akhirnya musim mencederai cuaca
juga
Batang, 23 April 2012
Hujan Kata-Kata
kata-katamu adalah hujan
yang turun dari larik sajak menuju sisi paling merindu
banya hal yang tak pernah bisa dibaca keadaan
kecuali penantian
bersama penantian aku menyimpan satudua rahasia
membikin kado paling indah
kertas berwarna, pita merah muda
atau permen jingga
untuk siapa saja
ah, dan katakatamu ingin menjadi gerimis saja
ujarmu
namun baitbait syair terlalu alpa
menyisipkan duapuluh sua
untuk kita
lantas
kau ingin menghujaniku dengan gerimis kata ini
kapan?
Batang, 23 April 2012
bagaimana lagi kita harus meringkas malam?
Sementara gelas sisa teh panas telah tandas tanpa jejak.
ada
kalanya kita terus menerus membilang kantuk dan batuk di antara
selasela waktu. membaginya pada gaung derit pintu, menuju getar paling
mendebar. Di kabel lampu.
Akankah kita bisa meringkas semuanya?
memang tak ada lagi yang mampu disimpan udara dingin itu. selain ringkasan cerita yang tiba-tiba gemar bermalam di sudut daun-daun, juga di langit-langit.
sedangkan ruang kehampaan tak ubahnya hamparan bintang-bintang, meskipun terang ia tak pernah jelas. apa saja yang sebebnarnya tersimpan di sana.
mendadak aku ingin menjadi kertas yang dilipat membentuk pesawat
agar sebentar saja aku bisa bertandang mengisi puzzle hatimu yang hilang
lain halnya tempo hari, aku berambisi menjadi kelopak mawar di depan jendelamu
agar sedikit saja aku bisa melihat
wajah pertama setelah pagi
melepas mimpimu yang semalaman kau ikat
begitu, sayang
memang tak ada lagi yang mampu disimpan udara dingin itu.
tiba-tiba aku merasa puisi ini tak ada gunanya lagi.
Batang, 6 April 2012
Payung Hitam
“Kamu lihat payungku?”
“Payung hitam itu?” tanya Edo memastikan.
“Iya,
dimana?” aku mulai tak sabar. Payung yang kuletakkan begitu saja di
samping meja kerjaku yang bersebelahan dengan meja kerja Edo, raib.
“Barusan dipinjam Fira.” Jawab Edo.
“Kenapa dipinjamkan, sih. Payung itu ‘kan mau kubuang.” Nada suaraku meninggi.
“Maaf
kalau aku nggak bilang kamu dulu, soalnya tadi Fira buru-buru mau
pulang. Sebelum dibuang, dipinjam Fira dulu apa salahnya?”
“Gawat!” teriakku sambil bergegas menyusul Fira. Edi melongo keheranan. Ada sedikit perasaan bersalah dihatinya.
***
Aku
berlarian di bawah hujan. Mencari sosok yang begitu kukhawatirkan
keadaannya. Fira. Dimana kau sebenarnya. Apakah kau tahu kalau kau
sedang dalam bahaya? Batinku sambil menahan perasaan panik yang
membuncah.
Tak henti-hentinya kuedarkan pandang menyapu setiap
sudut tempat yang kulewati. Sepanjang trotor, ruko-ruko, perempatan, dan
tempat lainnya yang mungkin di lewati Fira. Fira pasti belum jauh.
Hiburku dalam hati. Tak peduli tubuhku telah kuyup oleh hujan bercampur
peluh, yang penting Fira ketemu. Juga payungku.
Aku
hampir putus asa. Sampai di taman kota, kira-kira dua kilometer dari
kantor, sosok Fira tak juga kutemui. Padahal sudah kususuri jalan menuju
rumah Fira. Ah, jangan-jangan Fira naik angkot. Tidak mungkin, Fira
sangat senang jalan kaki. Katanya menyehatkan. Meskipun hujan. Hatiku
berdebat. Sementara itu perasaan panik, takut, dan kekhawatiranku
semakin menjadi.
Tiba-tiba.
“Fira...!!”
Fira menoleh, segera aku berlari mendekat.
“Den, kenapa hujan-hujanan?” tanya Fira heran. Ia menaungkan payungnya kearahku. Kami berdua berada di bawah payung yang sama.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” pertanyaan Fira kuabaikan.
“Aku baik-baik saja.” Matanya berbinar, segaris senyum muncul menghiasi wajahnya.
“Payungnya, em.. payungnya..” Aku kehabisan kata-kata. Aku tak pernah sedekat ini dengan wanita. Kecuali ibuku.
“Payungnya kenapa?”
“Nggak,
kamu boleh memakainya.” Aku grogi, salah tingkah. Lantas berbalik
meninggalkan Fira setelah sebelumnya kuberi isyarat perpisahan. Aku lupa
pada niat awalku mengambil payung hitam itu.
***
Fira Rosiana
12 Februari 1987-28 Oktober 2011
Kutatap
batu nisan baru beserta gundukan tanah merah yang masih basah. Air mata
tak mampu lagi kukeluarkan. Menangispun tak mampu menghidupkan Fira
kembali. Fira telah pergi. Dan semua ini salahku. Sampai detik ini,
sesal masih menghuni setiap sudut hatiku. Seandainya waktu itu aku tak
lupa...
Payung itu, payung kutukan. Ibu, Kakak, dan Fira.
Orang-orang yang aku sayangi. Mereka meregang nyawa di bawah payung itu.
Seharusnya payung hitam itu kulenyapkan sejak dulu!
Kubalikkan badan. Kulihat banyak orang memakai payung hitam. Mereka menatapku aneh.
“Aaaaaaargh....!!”
***
Batang, 28 Oktober 2011
Perkiraan yang Salah
Oleh: Kurnia Hidayati
“Kenapa
kamu kesini lagi? Cepat pergi, sebelum aku meneriakimu maling?!” Nada
suaraku meninggi. Emosiku mudah sekali tersulut kalau sedang lelah
begini. Pulang kuliah, tugas menumpuk, di kampus dimarahi dosen, dan
sekarang di depan kontrakkanku ada gelandangan yang sudah dua hari ini
‘menyambangiku’.
Sejak kemarin aku sudah mengusirnya. Tapi anehnya
ia tetap saja tak jera mendengar omelan panjang lebarku. Entah darimana
datangnya dia. Seorang anak kecil aneh yang duduk membenamkan wajahnya
dikedua lututnya yang ditekuk. Dilihat dari penampilannya, kutebak kalau
ia adalah seorang anak jalanan. Ya, style anak lingkungan
kumuh memang sangat kukenal. Karena, beberapa bulan lalu aku pernah
ditugaskan untuk praktek mengajar di sebuah perkampungan sekitar TPA.
“Dia pengemis yang belum kamu kasih duit kali, Shin?” ujar Vina teman kampusku ketika kuceritakan perihal anak itu.
“Enak aja, kemarin aku nggak ketemu pengemis sama sekali.” jawabku.
***
Aku
tak pernah tahu kapan ia datang dan kapan ia pergi. Pagi-pagi ketika
berangkat kuliah, ia tak ada disana. Lalu sepulang kuliah, ia sudah
disana. Duduk di teras kontrakkan dengan posisi favoritnya.
Sampai hari ketujuh kedatangannya, tak sedikitpun kudapat informasi
tentang dirinya. Bahkan melihat wajahnya dan mendengar suranyapun aku
tak pernah. Kucoba dengan segala cara, mulai dari bertanya, dari yang
halus sampai yang kasar. Ia tetap diam, tak menjawab. Ia seakan tak
mendengar dan tak merasakan apa yang kulakukan kepadanya.
Hari kedelapan.
Kesabaranku sudah habis! Teriakku
dalam hati. Aku tak tahan mendengar omongan orang-orang satu kompleks
kalau dia masih disini, mengganggu pemandangan saja!
“Hei kamu!!”
hardikku sambil menarik tangannya. Ia tetap mempertahankan posisinya. Ia
tetap tak mau pergi, seakan ia juga tak mengizinkanku melihat wajahnya.
Semakin keras aku menarik tangan juga tubuhnya, semakin kuat pula ia
mencoba menutup wajahnya.
Byurrr!!
Tubuhnya basah kuyup.
Kuangkat wajahku penuh kemenangan. Sesaat kemudian ia beranjak dan
berlari meninggalkanku lalu tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
Sempat kudengar isak tangisnya. Ada sedikit perasaan iba. Namun,
kuabaikan begitu saja.
Kuhela nafas lega. Baguslah! Setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan dia. Gumamku dalam hati.
***
Hai Bu Shinta,
Bu
Shinta adalah guru favorit Odi dan teman-teman. Ibu sangat sabar
mengajar matematika yang katanya susah itu. Berkat Bu Shinta, Odi dan
teman-teman udah nggak sering dipalaki Mang Ujo, preman yang suka
mengambil uang ngamen kami. Karena kami udah pintar berhitung. Berkat Bu
Shinta juga, kami menjadi anak-anak yang lebih berbudi luhur dan
menghindari sifat tercela.
Maafkan Odi, Bu,
kalau Odi udah bikin Ibu marah. Tapi, jujur Odi kecewa, ternyata Bu
Shinta nggak sebaik yang Odi kira. Senja itu Odi datang buat ngasih
kejutan buat Ibu. Tapi, pertama kali Odi datang ketempat Ibu, Odi sudah
dimarahi. Odi jadi berfikir mungkin lebih baik Odi nggak bilang kalau
Odi datang.. Tapi, saking kangen dan sayangnya Odi sama Ibu, Odi rela
dicaci maki sama Ibu. Mendengar omelan Ibu aja Odi sudah seneng banget.
Ibu tahu tidak, teman-teman di tempat Odi juga sangat senang mendengar
cerita kalau Odi sudah ketemu Ibu. Odi tahu, bohong itu dosa. Sama
seperti yang Ibu ajarkan. Maaf. Odi terpaksa bohong sama teman-teman.
Odi bilang kalau Ibu juga senang ketemu Odi. Dan mereka malah ingin
ketemu Bu Shinta juga.
Tapi, Ibu tenang saja.
Kemarin Odi sudah jujur. Odi katakan yang sebenarnya kalau Bu Shinta
amat sangat menyayangi Odi dan teman-teman. Sekian dulu, Bu. Semoga Ibu
selalu bahagia.
Odi.
Kupeluk surat dari Odi. Surat yang kutemukan terselip di bawah pintu itu, kini telah basah.
***
Batang, 6 November 2011
Angkot Biru
Oleh: Kurnia Hidayati
Kelam.
Jam bulat yang melilit pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan
malam. Bergegas aku keluar area kampus yang sebagian telah gelap. Tugas
menumpuk memaksaku menambah waktu untuk berlama-lama di gedung besar
itu. Bergulat dengan buku-buku yang tebalnya ratusan halaman, juga
rumus-rumus kimia yang kini jadi santapanku sehari-hari.
Aku tiba
di depan kampus. Menatap jalanan lengang. Segala hiruk-pikuk dan
sebagainya telah hangus seiring malam mulai menghampiri. Menambah kesan
sunyi semakin kental. Ah, aku menghela nafas panjang. Ada sedikit rasa
canggung, takut, dan khawatir. Mengingat malam ini aku harus pulang
sendiri. Naik angkot.
Mungkin aku tak akan secemas ini kalau
Santi, rekan sekelas sekaligus tetanggaku absen hari ini. Santi sakit,
begitu alasannya. Biasanya kami selalu pulang bersama, tanpa rasa takut
walaupun kadang angkot yang ditunggu tak kunjung datang. Namun, malam
ini aku harus mengunyah rasa takutku. Menuntut ilmu itu harus butuh
pengorbanan dan jerih payah. Hiburku dalam hati.
Lima belas menit.
Aku masih berdiri mematung, menunggu angkot yang bisanya lewat di depan
kampus. Sesekali aku memainkan handpone untuk mengusir jenuh juga
sunyi. Di pos jaga depan kampus, tampak dua orang satpam tengah
bercengkrama. Lamat-lamat kudengar alunan irama lagu “Alamat Palsu” dari
radio yang digeletakkan di atas meja bersama dua gelas kopi yang
keduanya masih penuh.
Sesaat kemudian, salah satu satpam, Pak
Darmo menghampiriku. Menanyakan apakah aku perlu diantar? Mengingat
malam semakin larut dan angkot tak kunjung datang. Namun, aku menolaknya
dengan alasan angkot pasti masih ada. Karena belum sampai jam sepuluh
malam. Lalu Pak Darmo kembali ke posnya.
Akhirnya yang aku tunggu
datang juga. Sebuah angkot berwarna biru menghampiriku. Pak sopir
menatapku, dari mimik wajahnya seakan mengajakku untuk segera masuk
kedalam angkot.
“Santi!” pekikku girang sekaligus heran. Santi
tersenyum simpul. Aku memilih duduk di depan Santi, agar lebih leluasa
berbicara dengannya.
“San, katanya kamu sakit?” tanyaku. Kuedarkan
pandang kesekeliling angkot. Dan ternyata angkot ini sangat sepi. Hanya
ada tiga penumpang. Aku, Santi, dan seorang perempuan tua berkebaya
merah yang sedari tadi kulihat menopang kepala Santi. Sepertinya aku
pernah melihat wanita itu sebelumnya. Tapi, dimana?
“Aku dari
rumah sakit, Nin.” Jawab Santi lemah. Kepalanya masih tersandar di bahu
perempuan tua itu. Aku menatapnya sekilas, perempuan tua itu tersenyum.
Lalu menyeringai. Aku tersentak.
“Dia nenekku, Nin. Yang dari Ciamis.” Santi menjelaskan, melihat sikapku yang aneh.
“Oh,
iya. Salam kenal, Nek.” Aku tersenyum. Perempuan tua yang kini
kuketahui nenek Santi itu tersenyum. Namun raut mukanya dingin.
Sepanjang
perjalanan kami hanya diam. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin
kuceritakan kepada Santi perihal tugas-tugas kampus yang telah
kukerjakan. Namun, urung kulakukan. Melihat kondisi Santi yang lemah dan
pucat menyiratkan kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membahas
masalah kuliah.
***
“San, kenapa kamu nggak turun?” tanyaku heran.
“Aku mau ikut nenek, Nin.” jawabnya serak.
“Oh,
ya, udah. Aku pulang dulu, kamu cepet sembuh, ya..” kulambaikan
tanganku kearah Santi. Nenek Santi menatapku tajam, sekaligus dingin. Ia
masih menyimpan kebekuan itu, bahkan sampai aku turun. Kutinggalkan
angkot berwarna biru itu dan melangkah menyusuri jalan setapak menuju
rumah.
“Nina, untung kamu cepet pulang.” Ibu menghampiriku
yang masih agak jauh dari rumah. Kenapa ibu sengaja menungguku di
perempatan? Rumahku kan masih beberapa blok lagi. Tanya kugelayutkan
dalam benak.
“Kenapa, Bu?” Tanyaku heran.
“Santi, Nak. Santi..”
“Santi kenapa?”
“Santi meninggal, Nak. ”
“Jangan bercanda, Bu.”
“Tadi Ibu mau hubungi kamu. Tapi, ha-pe kamu nggak aktif.”
Aku tak mampu menahan tawaku. Selera humorku kambuh lagi.
“Nggak mungkin, Bu. Barusan aku ketemu Santi di angkot sama neneknya.”
Raut
muka Ibu bertambah panik. “Santi meninggal di perjalanan menuju rumah
sakit, Nak. Kasihan sekali ia meninggal di dalam angkot. Sebab tadi
ketika asmanya kambuh, keluarganya bingung untuk mencari mobil sewaan
untuk membawa Santi ke rumah sakit. Lalu mereka menyewa angkot.”
Aku masih tak percaya. Melihat reaksiku, tanpa basa-basi Ibu menarik tanganku, membawaku menuju rumah Santi.
Aku
terhenyak, ketika kutemi banyak orang berkerumun di depan rumah Santi.
Sebuah bendera kuning terpasang di gerbang rumahnya. Kugelangkan
kepalaku keras-keras. Tidak mungkin, tidak mungkin.
Lantas
tangisku pecah melihat sosok terbujur kaku tertutp kain itu. Ya, Santi.
Nama dan bayangan Santi berputar-putar kepalaku. Kutatap sekeliling
ruang tengah tempat Santi dibaringkan. Lukisan, ya, lukisan itu. Wanita
tua berkebaya merah itu adalah wanita yang kutemui di dalam angkot.
Dialah nenek Santi. Kepalaku terasa berputar. Mengingat cerita Santi
tentang neneknya yang sudah lama meninggal itu. Lalu aku merasa ada yang
memapahku. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Semua gelap.
***
Pulang
larut lagi. Berdiri di depan kampus, lagi. Dari kejauhan kulihat sebuah
angkot biru berjalan mendekat, aku tak berniat untuk naik. Karena aku
menunggu Kakak untuk menjemputku.
Angkot itu tak berhenti, ia
melewatiku. Dari kaca angkot yang transparant kulihat sosok Santi dan
neneknya menyeringai kearahku sabil melambaikan tangan.
Deg!
Bulu kudukku meremang.
Batang, 18 November 2011.
*Tulisan ini udah lama banget. Ini adalah tulisanku yang kalah dalam lomba fiksi foto ultah leutika prio. Ayo krik dan sarannya.. :)
Aku memang tak lain hanya bait-bait puisi, yang gugur menjadi puisi atau syair-syair tanpa arti.
Ibarat kertas, aku tak henti menanti. Adakah pena yang sudi singgah sebentar, sekedar mengukir satu-dua kata yang hadir dari rlung hati paling curam. Akulah kertas, akulah puisi itu.
Apa lagi yang ingin kucari selain teduh air matamu? Sementara puisi telah lama pucat pasi hilang darah, dari sepersekian jam ia berhenti nafas. Dan aku tak mampu berbuat di luar batas. Sebagai wujud aku terlampau panik, menyikapi kekacauan kata teramat pelik.
Kudengar malam berbisik.
Dan lagi-lagi kutemui puisi di bening matamu.
Kini kutahu, aku tak usah lagi mencari-cari. Sebab musabab puisi muncul kembali.
Batang, 17 Maret 2012
Katakan!
Katakan padanya, Ai.
Apa saja yang diam-diam masih mengendap di cangkir hias di atas meja.
Ampas kopi yang tampak tipis mengisi.
Bersanding bersama periuk tanpa nasi
Aku acap bimbang, Ai
Ai, tahukah engkau
Di luar sana orang-orang ribut mendebat. Ihwal tampuk kepemimpinan yang pelan hilang. Mengingkari janji-janji. Maka, katakan pada mereka, Ai. Pada dia yang selalu tersenyum bangga. Sebab uangnya telah berjejal mengisi saku, menjadi bantal.
Katakan padanya, Ai.
Ai, selalu saja aku lupa bercerita pada gelas kopi yang hampa itu. Bahwa aku akan selalu menunggu orang-orang bersulang kopi bersama-sama. Meneriaki kedamaian di depan mata. Namun, kapan, Ai? Yang kulihat di televisi orang-orang sibuk menyakiti. Satu-dua saudara mati. Dan yang kuingin, selas kopi hampa itu tak lagi sendiri.
Sungguh, Ai. Masihkah boleh aku menunggu?
17 Mar 2012
1/
dan malam runtuh, kumandang adzan membingkai subuh
Telah dicecapnya sisa-sisa waktu
Antara bunga tidur dan terjaga
Ia membaur dalam air wudhu dan kecipak asa
Di luar,
Langit merengut
Kering tanah depan rumah
Akan segera terenggut
Membikin basah
2/
Kukira hujan telah lama bermusim di dadanya. Menjadi guru sekaligus sahabat karib. sebab hampir setiap waktu ia tak henti menjabati tangan kehampaan. Mencicipi bau bangkai bungkus nasi dan teman-temannya. Ia meniru tingkah hujan. Lagi.
Kemudian dihamparnya sajadah, lantas hujan kembali merambati senar jiwanya. Dan sunyi memainkan lagu berlirik melankolia.
Ia berdoa.
3/
Adakah ia salah, jika ingin berlelah
Menghitung satu dua bulir hujan
Yang turun, membasuh beranda
Cekung matanya adalah tanda, betapa ratapan tak lebih dari suara sia-sia
Di liriknya koran basah bergambar orang berdasi dan gedung mewah. Sementara di depan cermin, dirinya tampak sebagai sampah.
“Ya Allah. Sampai kapan kemiskinan ini akan mendera?”
Batang, 24 Februari 2012
* Puisi ini aku ikutkan dalam lomba puisi WR. Walaupun nggak menang, I like this one.
Ambil hikmahnya aja. Kalau aku sering kalah lomba, berarti aku jadi sering ngirim puisi ke blog.
Tuing-tuing...
Ai. Siapakah Ai?
Baiklah, Ai adalah nama tokoh yang kuciptakan sendiri dalam khayalku. Ai sering mengisi setiap sudut, setiap awal, setiap pertengahan bait-bait puisiku.
Entah kenapa aku jadi senang memakai nama Ai untuk puisiku, ya?
sampai juga puisi ini ke dalam dadamu. ibarat melati yang gugur dari tangkainya, puisi ini sungguh telah hilang wangi. menebar, menusuk aroma yang pernah hinggap, berkelindan, bersama debu-debu tipis tanpa gerimis.
lalu pada sudut kegamangan. seseorang pernah berujar pada sisa dingin dinding yang sempat namun telah alpa diciumi angin. Sebanyak embun gemar meningkahi daun-daun di pagi hari.
lantas biarkan saja. kugulung lagi berlembar-lembar kenang, agar aku dapat berpuisi. karena malam masih menggayut. Izinkan aku punguti lagi.
Serpih puisi yang sempat kuremukkan
di sudut ruang.
8 Maret 2012
Puisi ini lanjutan dari puisi di akun FBku.
Kerinduan Ayah
Kurnia Hidayat
Harusnya kuceritakan sejak dulu, betapa aku pura-pura bosan tentang
Kerlip bintang yang sedari kecilku kau tunjuk sebagai cita-citaku dimasa datang
Uban yang kini rajin berbiak di rambutmu
Menyadarkanku bahwa
Sebanyak itulah kau biakkan sayangmu
Dalam satu demi satu nama yang silih berganti hari
Mengurangi usiamu
Bukan hanya itu
Mataku menelusur jauh
Gurat kerut meliput laramu
Menjelma saksi : kau tak lagi garang, lari menghadang badai, berperang lawan pedih
Dalam fana
Namun, ada satu yang masih setia huni gengamanmu
Rindumu adalah penantian
Pucuk cemara lembut, jingkat kaki kecil, atau beragam rupa rasa gulali
Lindap dalam bayangmu
“Aku tak ubahnya gadis kecil yang berlarian di bawah naungan senja
Lantas ceriaku, ceriamu, tuntunku dalam pelukmu...”
Oh, Ayah
Kadang sulit kusadari
Sayang yang kau jelmakan embun tak ubahnya kenang yang coba kau ulang
Memutar balik rasa, coba kau samai dengan kasih yang pernah kau kecap
Layang-layang, kembang api, mobil cahaya, atau selembar buku gambar tua
:Izinkan aku jadi harapmu
Batang, 3 Oktober 2011
*Untuk Ayahku yang tak mengurangi kasihnya
Meski anaknya telah beranjak dewasa
NB: Puisi ini kubuat waktu mengikuti lomba puisi Rumah Pena. Walaupun nggak menang, yang pasti aku suka puisi ini.
Sengaja kuposting tulisan-tulisan lama yang sempat melekat di note FB jadulku. Miinox Nia. Yah, kalau mau menyebut nama FB itu, jujur aku malu. Sebab dari namanya aja masih alay banget. Yang penting sekarang udah nggak alay, lah. Huh! Gitu aja rempong!
Oke, deh. Abis ini bakal aku posting. So, tunggu aja. Jangan lupa kripik pedesnya, ya. Buat motivasi aku.
:)
Happy Good Read!!
Hai hujan, adakah kau tak jemu diluruh gelegar guntur, ditendang awan mendung
:begitu sesore ini
Ada hal yang ingin kubisik padamu, pada daun basah, pada tetes dan genangan air di depan beranda
bahwa, aku merindui dia
Sore, hujan. Siang tadi ketika terik meretakkan dingin, sungguh kuingin
mengambilmu, memainkanmu sampai puas
biar kuyup semua lelah ini biar padam semua bara
Namun, aku urung
Tersebab aku terlampau sayang padamu
Tak kuizinkan semua orang tahu kalau
tempo hari aku pernah membungkusmu, Hujan. Menyimpanmu di kotak paling terang
Hari masih sore ketika kau kembali berujar!
Batang, 15 Jan 2012
Secara kasat aku mampu melihat, kau dengan sigap berkemas memunguti satu-dua benda untuk kau bawa.
Menuju kota.
Dan hujan masih saja, menyembul lalu jatuh lewat celah awan, menelusur pori-pori tanah membikin basah. Namun, kau tetap saja. Pantang kalah.
"Kau mau kemana? Hari masih hujan.." bisikku tanpa suara.
Kau berbalik, memunggungiku. Setelah berulang kau hitung mana hal yang harus menjadi kawan serta.
"Benar pergi, kau.."
Kutelusur jalan, mencari jejakmu yang hilang. Sambil membawa carik-carik kertas, karena kau lupa sesuatu.
Puisi ini tertinggal di hatiku..
Recent Comments