Solopos, 2 Agustus 2015

Jika Esok Hari Tak Datang

Jika esok hari tak datang padamu
bagaimana nasib secangkir kopi dan gulungan koran?
apakah kau akan membiarkannya cuaca
dengan larutan kopi yang membadai di dalamnya
ketimpasan kemarin
menggenang dalam kenang

barangkali esok, waktu akan menundung jiwamu pergi
sementara kau selalu paham bahwa tak pernah banyak yang bisa ditebak
dari angka-angka almanak
maka, jika esok hari tak datang padamu
apa yang akan kau rencanakan
untuk terakhir kali?

Batang, 2015

Monolog Sungai Merah Muda
; binatur
1/
di kota ini
sekiranya tubuhku merupa kelir di amplop surat cinta
berdoalah!
untuk arwah ikan-ikan
-sang penghuni arus –
pengabar ngeri dan kematian

aku melihat seorang bocah melintas, menembak pandang dari hasyiah jalan
barangkali membisikkan duka dan merancang kata-kata untuk obituari tua
ketika aliran tubuhku tak lagi menjanjikan surga
selain air beraroma ajal

2/
bila aku mengalir
melahirkan lanskap kelir merah muda
bersajaklah tentang sungai surga yang purna
sebab riwayat para pemacing pernah tertawan
bersama isyarat dendam berkarat di runcing kail

“telah tiada sungai kehidupan
batu-batu mengubur diri pada keruh limbah.
sampah-sampah bak manusia berlangkah sangsai
pasrah pada arus arah!”

3/
entah disebut apa tubuhku ini
sebuah sungai, atau pusara yang mencipta lahat bagi kedatangan mimpi?
pipa-pipa muntah racun tak berpenawar
sungai bak bianglala tanpa hujan
air mata, meruas di jemari kelok arus yang diam
mewariskan bau memabukkan

di kota ini, jika tubuhku merupa kelir merah muda
maka tulislah puisi
tentang sungai
yang mati

02 Desember 2013


Solopos, 2 Agustus 2015.

posted under , | 1 Comments

"Kurnia Hidayati dan Senandika Pemantik Api" esai Julaiha S (Harian Waspada Medan, 2 Agustus 2015)

Kurnia Hidayati dan Senandika Pemantik Api
Oleh: Julaiha S.

            Munculnya sebuah intrik biasanya timbul dari orang-orang sekitar yang iri dan penuh dengan hidup kedustaan. Masalah hati akan semakin merah jika terus disulut dengan persoalan di sekeliling. Kurnia hidayati merupakan salah satu penyair yang mampu menampilkan masalah. Mengenai masalah, kajian resepsi sastra merupakan kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan, baik tanggapan pasif maupun aktif. Dengan adanya masalah, Kurnia berhasil menyusun beberapa puisinya dalam bentuk antologi puisi “Senandika Pemantik Api”.
            Membaca puisi Senandika Pemantik Api, sepintas membuat penulis mengarahkan pena pada unsur yang sangat menentukan untuk pemahaman puisi tersebut. Pertama adalah judulnya yang merupakan roh dalam puisi tersebut. Pemakaian judul Senandika Pemantik Api mengarahkan bahwa hal ini beurusan dengan ‘api’ yang sudah dikenal, namun masih tetap menjaga ketahanan puisi melalui isi dari puisi tersebut. Kedua adalah menentukan interpretasi puisi melalui hubungan aku-kau yang keberadaannya tidak sama. Barangkali kata Aku lebih menjelaskan kehidupan nyata yang kerap dihadapi oleh manusia saat ini. Sedangkan, kata kau berada dibalik kulit puisi tersebut. Makna tersirat yang melekat dalam kata kau, menjadikan puisi ini meluas dan tidak terlibat pada satu pihak saja. Dapat dikatakan bahwa hal ini terjadi kepada semua orang yang telah mencoba bermain dengan ‘api’ yang dimaksudkan.
            Wanita yang meraih beberapa penghargaan dibidang menulis ini berhasil mencicipi persoalan sifat dan tindakan setiap orang, kemudian mengemas-keemasan dalam beberapa puisinya ini. Namun dapat dirasakan secara ‘kental’ pada puisinya yang berjudul “Senandika Pemantik Api”. Perempuan yang lahir di Batang, Jawa Tengah ini memulai puisinya dengan benda-benda. Kepada benda-benda/ kutitipkan hasrat paling membakar// Sebuah perjalanan hidup yang memiliki lika-liku, fajar dan petang, riang dan susah adalah benda yang hidup di dalam hati manusia, perhatikan, /seteru di tubuh tungku/ teror di kepala kompor/ kubikin kandas kertas-kertas, entah buku, entah majalah, entah folio entah hvs, entah tumpukan, entah lembaran//. Sejarah akan abadi jika ditulis, nama akan kekal jika tertanam dalam tulisan. Namun, api dapat membuat kehidupan sejarah lebur menjadi abu. Permainan api yang tidak dapat dijaga, kerap menghasilkan masalah.
            Relasi aku-kau yang dipadukan dalam puisi Senandika Pemandik Api ini menggambarkan sebuah siasat. Siasat yang terbangun merupakan petunjuk untuk memahami tentang perasaan. Sesuatu hal yang akan dilakukan juga kerap memiliki petunjuk agar tidak salah dan berlebihan dalam penggunaannya. Secara harfiah, api dapat membesar dan ganas jika tidak dijaga dengan hati-hati. Sama seperti perkataan Kurnia dalam larik berikut, Kukobarkan pula bentok  diujung-ujung rokok/ selama orang menyesap pada pangal dan lesapkan nyalanya di gigir asbak//. Relasi aku-kau yang dapat dipahami tidak hanya sebagai wujud orang, aku juga dapat dikatakan benda yang bercerita tentang api yang tidak mampu menjadi ‘sahabat’.
            Larik-larik maka, berhati-hatilah kepadaku/ jika manfaat telah jadi khianat, dan timbul syahwat maksiat/ serta tubuhku tersesat dan salah tempat// menggunakan barang, selain memiliki petunjuk juga memiliki peringatan untuk menjaga pemakai agar tetap dalam keadaan baik. Sama halnya dengan aku yang berupaya memberi keselamatan. Ya, barangkali jika manfaat telah jadi khianat, maka akan lahir perpecahan dan perceraian.
Selanjutnya, akan ada belenggu abu dan petaka/ yang bersiap membakar dan membinasakan siapa saja// menjadi penutup yang padat dan tegas. Larik terakhir itu menjadi tombak penuntasan penyair. Jika berkaitan dengan masalah, maka ini adalah keputusan yang diambil melalui ‘petunjuk dan peringatan’. Larik terakhir ini juga tidak semata menjadikan dirinya adalah sosok yang perkasa dan kuat, dengan membakar dan membinasakan siapa saja. Melainkan sebuah argumen renyah untuk tidak sembarang dikunyah.
            Jika melihat dari wujud penyair sebagai seorang perempuan, maka Senandika Pemantik Api yang dimaksudkan dapat dilambangkan sebagai penindasan yang dirasakan perempuan. Sama seperti pernyatakan Rosemarie Tong, seorang tokoh feminis mengenai periode gerakan feminisme, Senandika Pemantik Api merupakan bentuk gerakan feminis eksistensial yang memperjuangkan eksistensi seorang perempuan. Pemakaian bahasa penyair begitu imajis. Terlihat kekayaan imaji yang tidak cukup disifatkan dengan kata metafore atau kiasan: kepala kompor, tubuh tungku, intrik melumer melengkapi varian makna yang dapat ditelaah pembaca. Akhirnya Senandika Pemantik Api memperlihatkan dirinya. Dan Kurnia telah berhasil menjadi tampan dengan racikan kata-kata walau pada kenyataannya merupakan seorang yang cantik.
*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia,

Universitas Negeri Medan
Buku Puisi Senandika Pemantik Api
Esai Julaiha S di Waspada Medan, 2 Agustus 2015.

posted under , | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan-tulisan

Followers


Recent Comments