Tak Ada Lagi Yang Mampu Disimpan

memang tak ada lagi yang mampu disimpan udara dingin itu. selain ringkasan cerita yang tiba-tiba gemar bermalam di sudut daun-daun, juga di langit-langit.
sedangkan ruang kehampaan tak ubahnya hamparan bintang-bintang, meskipun terang ia tak pernah jelas. apa saja yang sebebnarnya tersimpan di sana.

mendadak aku ingin menjadi kertas yang dilipat membentuk pesawat
agar sebentar saja aku bisa bertandang mengisi puzzle hatimu yang hilang
lain halnya tempo hari, aku berambisi menjadi kelopak mawar di depan jendelamu
agar sedikit saja aku bisa melihat
wajah pertama setelah pagi
melepas mimpimu yang semalaman kau ikat

begitu, sayang
memang tak ada lagi yang mampu disimpan udara dingin itu.
tiba-tiba aku merasa puisi ini tak ada gunanya lagi.

Batang, 6 April 2012

posted under | 2 Comments

Backpacker

kadangkadang kau memang perlu menyimpan kompas di saku baju, tersebab angin bisa saja menerbangkanmu
menuju penjuru tak hingga.
Dan kau tak perlu lagi menerkanerka, jalan mana yang akan membawamu kepada tujuan semula
agar tak tersesat kau nantinya

ransel yang kau bawa, tak ubahnya kantung keluh kesah
kala kau benarbenar muak dengan titah dunia.
Maka kau menyimpannya di ransel itu, kelak di lain waktu kau akan mengambilnya
membikin nilai.
Bagaimana seharusnya rasa terjaga?

oh, apa yang kau lihat dari teropong yang sedari tadi bergantung di lehermu itu?
lanskap pemandangan atau gambaran kefanaan
meski kuyakin tanpa teropong pun matamu sudah sangat awas. menangkap satu dua tampila-tampilan keras
dari bumi yang mahaluas


maka terus saja ingat pesanku. meski rintangan perjalanan kadang memaksamu berhenti melaju

Batang, 4 April 2012

posted under | 0 Comments

FF: Payung Hitam

Payung Hitam

“Kamu lihat payungku?”
“Payung hitam itu?” tanya Edo memastikan.
“Iya, dimana?” aku mulai tak sabar. Payung yang kuletakkan begitu saja di samping meja kerjaku yang bersebelahan dengan meja kerja Edo, raib.
“Barusan dipinjam Fira.” Jawab Edo.
“Kenapa dipinjamkan, sih. Payung itu ‘kan mau kubuang.”  Nada suaraku meninggi.
“Maaf kalau aku nggak bilang kamu dulu, soalnya tadi Fira buru-buru mau pulang. Sebelum dibuang, dipinjam Fira dulu apa salahnya?”
“Gawat!” teriakku sambil bergegas menyusul Fira. Edi melongo keheranan. Ada sedikit perasaan bersalah dihatinya.
***

Aku berlarian di bawah hujan. Mencari sosok yang begitu kukhawatirkan keadaannya. Fira. Dimana kau sebenarnya. Apakah kau tahu kalau kau sedang dalam bahaya? Batinku sambil menahan perasaan panik yang membuncah.
Tak henti-hentinya kuedarkan pandang menyapu setiap sudut tempat yang kulewati. Sepanjang trotor, ruko-ruko, perempatan, dan tempat lainnya yang mungkin di lewati Fira. Fira pasti belum jauh. Hiburku dalam hati. Tak peduli tubuhku telah kuyup oleh hujan bercampur peluh, yang penting Fira ketemu. Juga payungku.
            Aku hampir putus asa. Sampai di taman kota, kira-kira dua kilometer dari kantor, sosok Fira tak juga kutemui. Padahal sudah kususuri jalan menuju rumah Fira. Ah, jangan-jangan Fira naik angkot. Tidak mungkin, Fira sangat senang jalan kaki. Katanya menyehatkan. Meskipun hujan. Hatiku berdebat. Sementara itu perasaan panik, takut, dan kekhawatiranku semakin menjadi.
            Tiba-tiba.
“Fira...!!”
Fira menoleh, segera aku berlari mendekat.
“Den, kenapa hujan-hujanan?” tanya Fira heran. Ia menaungkan payungnya kearahku. Kami berdua berada di bawah payung yang sama.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” pertanyaan Fira kuabaikan.
“Aku baik-baik saja.” Matanya berbinar, segaris senyum muncul menghiasi wajahnya.
“Payungnya, em.. payungnya..” Aku kehabisan kata-kata. Aku tak pernah sedekat ini dengan wanita. Kecuali ibuku.
“Payungnya kenapa?”
“Nggak, kamu boleh memakainya.” Aku grogi, salah tingkah. Lantas berbalik meninggalkan Fira setelah sebelumnya kuberi isyarat perpisahan. Aku lupa pada niat awalku mengambil payung hitam itu.
***

Fira Rosiana
12 Februari 1987-28 Oktober 2011

Kutatap batu nisan baru beserta gundukan tanah merah yang masih basah. Air mata tak mampu lagi kukeluarkan. Menangispun tak mampu menghidupkan Fira kembali. Fira telah pergi. Dan semua ini salahku. Sampai detik ini, sesal masih menghuni setiap sudut hatiku. Seandainya waktu itu aku tak lupa...
Payung itu, payung kutukan. Ibu, Kakak, dan Fira. Orang-orang yang aku sayangi. Mereka meregang nyawa di bawah payung itu. Seharusnya payung hitam itu kulenyapkan sejak dulu!
Kubalikkan badan. Kulihat banyak orang memakai payung hitam. Mereka menatapku aneh.
“Aaaaaaargh....!!”
***
Batang, 28 Oktober 2011

posted under | 1 Comments

FF: Perkiraan yang Salah

Perkiraan yang Salah
 Oleh: Kurnia Hidayati

“Kenapa kamu kesini lagi? Cepat pergi, sebelum aku meneriakimu maling?!” Nada suaraku meninggi. Emosiku mudah sekali tersulut kalau sedang lelah begini. Pulang kuliah, tugas menumpuk, di kampus dimarahi dosen, dan sekarang di depan kontrakkanku ada gelandangan yang sudah dua hari ini ‘menyambangiku’.
Sejak kemarin aku sudah mengusirnya. Tapi anehnya ia tetap saja tak jera mendengar omelan panjang lebarku. Entah darimana datangnya dia. Seorang anak kecil aneh yang duduk membenamkan wajahnya dikedua lututnya yang ditekuk. Dilihat dari penampilannya, kutebak kalau ia adalah seorang anak jalanan. Ya, style anak lingkungan kumuh memang sangat kukenal. Karena, beberapa bulan lalu aku pernah ditugaskan untuk praktek mengajar di sebuah perkampungan sekitar TPA.
“Dia pengemis yang belum kamu kasih duit kali, Shin?” ujar Vina teman kampusku ketika kuceritakan  perihal anak itu.
“Enak aja, kemarin aku nggak ketemu pengemis sama sekali.” jawabku.
***
Aku tak pernah tahu kapan ia datang dan kapan ia pergi. Pagi-pagi ketika berangkat kuliah, ia tak ada disana. Lalu sepulang kuliah, ia sudah disana. Duduk di teras kontrakkan dengan posisi favoritnya.
            Sampai hari ketujuh kedatangannya, tak sedikitpun kudapat informasi tentang dirinya. Bahkan melihat wajahnya dan mendengar suranyapun aku tak pernah. Kucoba dengan segala cara, mulai dari bertanya, dari yang halus sampai yang kasar. Ia tetap diam, tak menjawab. Ia seakan tak mendengar dan tak merasakan apa yang kulakukan kepadanya.
            Hari kedelapan.
Kesabaranku sudah habis! Teriakku dalam hati. Aku tak tahan mendengar omongan orang-orang satu kompleks kalau dia masih disini, mengganggu pemandangan saja!
“Hei kamu!!” hardikku sambil menarik tangannya. Ia tetap mempertahankan posisinya. Ia tetap tak mau pergi, seakan ia juga tak mengizinkanku melihat wajahnya. Semakin keras aku menarik tangan juga tubuhnya, semakin kuat pula ia mencoba menutup wajahnya.
Byurrr!!
Tubuhnya basah kuyup. Kuangkat wajahku penuh kemenangan. Sesaat kemudian ia beranjak dan berlari meninggalkanku lalu tubuhnya menghilang di kegelapan malam. Sempat kudengar isak tangisnya. Ada sedikit perasaan iba. Namun, kuabaikan begitu saja.
Kuhela nafas lega. Baguslah! Setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan dia. Gumamku dalam hati.
***

Hai Bu Shinta,
Bu Shinta adalah guru favorit Odi dan teman-teman. Ibu sangat sabar mengajar matematika yang katanya susah itu. Berkat Bu Shinta, Odi dan teman-teman udah nggak sering dipalaki Mang Ujo, preman yang suka mengambil uang ngamen kami. Karena kami udah pintar berhitung. Berkat Bu Shinta juga, kami menjadi anak-anak yang lebih  berbudi luhur dan menghindari sifat tercela.
            Maafkan Odi, Bu, kalau Odi udah bikin Ibu marah. Tapi, jujur Odi kecewa, ternyata Bu Shinta nggak sebaik yang Odi kira. Senja itu Odi datang buat ngasih kejutan buat Ibu. Tapi, pertama kali Odi datang ketempat Ibu, Odi sudah dimarahi. Odi jadi berfikir mungkin lebih baik Odi nggak bilang kalau Odi datang.. Tapi, saking kangen dan sayangnya Odi sama Ibu, Odi rela dicaci maki sama Ibu. Mendengar omelan Ibu aja Odi sudah seneng banget.
            Ibu tahu tidak, teman-teman di tempat Odi juga sangat senang mendengar cerita kalau Odi sudah ketemu Ibu. Odi tahu, bohong itu dosa. Sama seperti yang Ibu ajarkan. Maaf. Odi terpaksa bohong sama teman-teman. Odi bilang kalau Ibu juga senang ketemu Odi. Dan mereka malah ingin ketemu Bu Shinta juga.
            Tapi, Ibu tenang saja. Kemarin Odi sudah jujur. Odi katakan yang sebenarnya kalau Bu Shinta amat sangat menyayangi Odi dan teman-teman. Sekian dulu, Bu. Semoga Ibu selalu bahagia.
                                                                                    Odi.

            Kupeluk surat dari Odi. Surat yang kutemukan terselip di bawah pintu itu, kini telah basah.
***
Batang, 6 November 2011

posted under | 0 Comments

FF: Angkot Biru*

Angkot Biru
Oleh: Kurnia Hidayati

Kelam. Jam bulat yang melilit pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan malam. Bergegas aku keluar area kampus yang sebagian telah gelap. Tugas menumpuk memaksaku menambah waktu untuk berlama-lama di gedung besar itu. Bergulat dengan buku-buku yang tebalnya ratusan halaman, juga rumus-rumus kimia yang kini jadi santapanku sehari-hari.
Aku tiba di depan kampus. Menatap jalanan lengang. Segala hiruk-pikuk dan sebagainya telah hangus seiring malam mulai menghampiri. Menambah kesan sunyi semakin kental. Ah, aku menghela nafas panjang. Ada sedikit rasa canggung, takut, dan khawatir. Mengingat malam ini aku harus pulang sendiri. Naik angkot.
Mungkin aku tak akan secemas ini kalau Santi, rekan sekelas sekaligus tetanggaku absen hari ini. Santi sakit, begitu alasannya. Biasanya kami selalu pulang bersama, tanpa rasa takut walaupun kadang angkot yang ditunggu tak kunjung datang. Namun, malam ini aku harus mengunyah rasa takutku. Menuntut ilmu itu harus butuh pengorbanan dan jerih payah. Hiburku dalam hati.
Lima belas menit. Aku masih berdiri mematung, menunggu angkot yang bisanya lewat di depan kampus. Sesekali aku memainkan handpone untuk mengusir jenuh juga sunyi. Di pos jaga depan kampus, tampak dua orang satpam tengah bercengkrama. Lamat-lamat kudengar alunan irama lagu “Alamat Palsu” dari radio yang digeletakkan di atas meja bersama dua  gelas kopi yang keduanya masih penuh.
Sesaat kemudian, salah satu satpam, Pak Darmo menghampiriku. Menanyakan apakah aku perlu diantar? Mengingat malam semakin larut dan angkot tak kunjung datang. Namun, aku menolaknya dengan alasan angkot pasti masih ada. Karena belum sampai jam sepuluh malam. Lalu Pak Darmo kembali ke posnya.
Akhirnya yang aku tunggu datang juga. Sebuah angkot berwarna biru menghampiriku. Pak sopir menatapku, dari mimik wajahnya seakan mengajakku untuk segera masuk kedalam angkot.
“Santi!” pekikku girang sekaligus heran. Santi tersenyum simpul. Aku memilih duduk di depan Santi, agar lebih leluasa berbicara dengannya.
“San, katanya kamu sakit?” tanyaku. Kuedarkan pandang kesekeliling angkot. Dan ternyata angkot ini sangat sepi. Hanya ada tiga penumpang. Aku, Santi, dan seorang perempuan tua berkebaya merah yang sedari tadi kulihat menopang kepala Santi. Sepertinya aku pernah melihat wanita itu sebelumnya. Tapi, dimana?
“Aku dari rumah sakit, Nin.” Jawab Santi lemah. Kepalanya masih tersandar di bahu perempuan tua itu. Aku menatapnya sekilas, perempuan tua itu tersenyum. Lalu menyeringai. Aku tersentak.
“Dia nenekku, Nin. Yang dari Ciamis.” Santi menjelaskan, melihat sikapku yang aneh.
“Oh, iya. Salam kenal, Nek.” Aku tersenyum. Perempuan tua yang kini kuketahui nenek Santi itu tersenyum. Namun raut mukanya dingin.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kuceritakan kepada Santi perihal tugas-tugas kampus yang telah kukerjakan. Namun, urung kulakukan. Melihat kondisi Santi yang lemah dan pucat menyiratkan kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masalah kuliah.
***

“San, kenapa kamu nggak turun?” tanyaku heran.
“Aku mau ikut nenek, Nin.” jawabnya serak.
“Oh, ya, udah. Aku pulang dulu, kamu cepet sembuh, ya..” kulambaikan tanganku kearah Santi. Nenek Santi menatapku tajam, sekaligus dingin. Ia masih menyimpan kebekuan itu, bahkan sampai aku turun. Kutinggalkan angkot berwarna biru itu dan melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah.

“Nina, untung kamu cepet pulang.” Ibu menghampiriku yang masih agak jauh dari rumah. Kenapa ibu sengaja menungguku di perempatan? Rumahku kan masih beberapa blok lagi. Tanya kugelayutkan dalam benak.
“Kenapa, Bu?” Tanyaku heran.
“Santi, Nak. Santi..”
“Santi kenapa?”
“Santi meninggal, Nak. ”
“Jangan bercanda, Bu.”
“Tadi Ibu mau hubungi kamu. Tapi, ha-pe kamu nggak aktif.”
Aku tak mampu menahan tawaku. Selera humorku kambuh lagi.
 “Nggak mungkin, Bu. Barusan aku ketemu Santi di angkot sama neneknya.”
Raut muka Ibu bertambah panik. “Santi meninggal di perjalanan menuju rumah sakit, Nak. Kasihan sekali ia meninggal di dalam angkot. Sebab tadi ketika asmanya kambuh, keluarganya bingung untuk mencari mobil sewaan untuk membawa Santi ke rumah sakit. Lalu mereka menyewa angkot.”
Aku masih tak percaya. Melihat reaksiku, tanpa basa-basi Ibu menarik tanganku, membawaku menuju rumah Santi.

Aku terhenyak, ketika kutemi banyak orang berkerumun di depan rumah Santi. Sebuah bendera kuning terpasang di gerbang rumahnya. Kugelangkan kepalaku keras-keras. Tidak mungkin, tidak mungkin.
Lantas tangisku pecah melihat sosok terbujur kaku tertutp kain itu. Ya, Santi. Nama dan bayangan Santi berputar-putar kepalaku. Kutatap sekeliling ruang tengah tempat Santi dibaringkan. Lukisan, ya, lukisan itu. Wanita tua berkebaya merah itu adalah wanita yang kutemui di dalam angkot. Dialah nenek Santi. Kepalaku terasa berputar. Mengingat cerita Santi tentang neneknya yang sudah lama meninggal itu. Lalu aku merasa ada yang memapahku. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Semua gelap.
***

Pulang larut lagi. Berdiri di depan kampus, lagi. Dari kejauhan kulihat sebuah angkot biru berjalan mendekat, aku tak berniat untuk naik. Karena aku menunggu Kakak untuk menjemputku.
Angkot itu tak berhenti, ia melewatiku. Dari kaca angkot yang transparant kulihat sosok Santi dan neneknya menyeringai kearahku sabil melambaikan tangan.
Deg!
Bulu kudukku meremang.

Batang, 18 November 2011.


*Tulisan ini udah lama banget. Ini adalah tulisanku yang kalah dalam lomba fiksi foto ultah leutika prio. Ayo krik dan sarannya.. :)

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan-tulisan

Followers


Recent Comments