FF: Angkot Biru*
Angkot Biru
Oleh: Kurnia Hidayati
Kelam.
 Jam bulat yang melilit pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan 
malam. Bergegas aku keluar area kampus yang sebagian telah gelap. Tugas 
menumpuk memaksaku menambah waktu untuk berlama-lama di gedung besar 
itu. Bergulat dengan buku-buku yang tebalnya ratusan halaman, juga 
rumus-rumus kimia yang kini jadi santapanku sehari-hari.
Aku tiba 
di depan kampus. Menatap jalanan lengang. Segala hiruk-pikuk dan 
sebagainya telah hangus seiring malam mulai menghampiri. Menambah kesan 
sunyi semakin kental. Ah, aku menghela nafas panjang. Ada sedikit rasa 
canggung, takut, dan khawatir. Mengingat malam ini aku harus pulang 
sendiri. Naik angkot.
Mungkin aku tak akan secemas ini kalau 
Santi, rekan sekelas sekaligus tetanggaku absen hari ini. Santi sakit, 
begitu alasannya. Biasanya kami selalu pulang bersama, tanpa rasa takut 
walaupun kadang angkot yang ditunggu tak kunjung datang. Namun, malam 
ini aku harus mengunyah rasa takutku. Menuntut ilmu itu harus butuh 
pengorbanan dan jerih payah. Hiburku dalam hati.
Lima belas menit.
 Aku masih berdiri mematung, menunggu angkot yang bisanya lewat di depan
 kampus. Sesekali aku memainkan handpone untuk mengusir jenuh juga 
sunyi. Di pos jaga depan kampus, tampak dua orang satpam tengah 
bercengkrama. Lamat-lamat kudengar alunan irama lagu “Alamat Palsu” dari
 radio yang digeletakkan di atas meja bersama dua  gelas kopi yang 
keduanya masih penuh.
Sesaat kemudian, salah satu satpam, Pak 
Darmo menghampiriku. Menanyakan apakah aku perlu diantar? Mengingat 
malam semakin larut dan angkot tak kunjung datang. Namun, aku menolaknya
 dengan alasan angkot pasti masih ada. Karena belum sampai jam sepuluh 
malam. Lalu Pak Darmo kembali ke posnya.
Akhirnya yang aku tunggu 
datang juga. Sebuah angkot berwarna biru menghampiriku. Pak sopir 
menatapku, dari mimik wajahnya seakan mengajakku untuk segera masuk 
kedalam angkot.
“Santi!” pekikku girang sekaligus heran. Santi 
tersenyum simpul. Aku memilih duduk di depan Santi, agar lebih leluasa 
berbicara dengannya.
“San, katanya kamu sakit?” tanyaku. Kuedarkan
 pandang kesekeliling angkot. Dan ternyata angkot ini sangat sepi. Hanya
 ada tiga penumpang. Aku, Santi, dan seorang perempuan tua berkebaya 
merah yang sedari tadi kulihat menopang kepala Santi. Sepertinya aku 
pernah melihat wanita itu sebelumnya. Tapi, dimana?
“Aku dari 
rumah sakit, Nin.” Jawab Santi lemah. Kepalanya masih tersandar di bahu 
perempuan tua itu. Aku menatapnya sekilas, perempuan tua itu tersenyum. 
Lalu menyeringai. Aku tersentak.
“Dia nenekku, Nin. Yang dari Ciamis.” Santi menjelaskan, melihat sikapku yang aneh.
“Oh,
 iya. Salam kenal, Nek.” Aku tersenyum. Perempuan tua yang kini 
kuketahui nenek Santi itu tersenyum. Namun raut mukanya dingin.
Sepanjang
 perjalanan kami hanya diam. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin 
kuceritakan kepada Santi perihal tugas-tugas kampus yang telah 
kukerjakan. Namun, urung kulakukan. Melihat kondisi Santi yang lemah dan
 pucat menyiratkan kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membahas 
masalah kuliah.
***
“San, kenapa kamu nggak turun?” tanyaku heran.
“Aku mau ikut nenek, Nin.” jawabnya serak.
“Oh,
 ya, udah. Aku pulang dulu, kamu cepet sembuh, ya..” kulambaikan 
tanganku kearah Santi. Nenek Santi menatapku tajam, sekaligus dingin. Ia
 masih menyimpan kebekuan itu, bahkan sampai aku turun. Kutinggalkan 
angkot berwarna biru itu dan melangkah menyusuri jalan setapak menuju 
rumah.
“Nina, untung kamu cepet pulang.” Ibu menghampiriku
 yang masih agak jauh dari rumah. Kenapa ibu sengaja menungguku di 
perempatan? Rumahku kan masih beberapa blok lagi. Tanya kugelayutkan 
dalam benak.
“Kenapa, Bu?” Tanyaku heran.
“Santi, Nak. Santi..”
“Santi kenapa?”
“Santi meninggal, Nak. ”
“Jangan bercanda, Bu.”
“Tadi Ibu mau hubungi kamu. Tapi, ha-pe kamu nggak aktif.”
Aku tak mampu menahan tawaku. Selera humorku kambuh lagi.
 “Nggak mungkin, Bu. Barusan aku ketemu Santi di angkot sama neneknya.”
Raut
 muka Ibu bertambah panik. “Santi meninggal di perjalanan menuju rumah 
sakit, Nak. Kasihan sekali ia meninggal di dalam angkot. Sebab tadi 
ketika asmanya kambuh, keluarganya bingung untuk mencari mobil sewaan 
untuk membawa Santi ke rumah sakit. Lalu mereka menyewa angkot.”
Aku masih tak percaya. Melihat reaksiku, tanpa basa-basi Ibu menarik tanganku, membawaku menuju rumah Santi.
Aku
 terhenyak, ketika kutemi banyak orang berkerumun di depan rumah Santi. 
Sebuah bendera kuning terpasang di gerbang rumahnya. Kugelangkan 
kepalaku keras-keras. Tidak mungkin, tidak mungkin.
Lantas 
tangisku pecah melihat sosok terbujur kaku tertutp kain itu. Ya, Santi. 
Nama dan bayangan Santi berputar-putar kepalaku. Kutatap sekeliling 
ruang tengah tempat Santi dibaringkan. Lukisan, ya, lukisan itu. Wanita 
tua berkebaya merah itu adalah wanita yang kutemui di dalam angkot. 
Dialah nenek Santi. Kepalaku terasa berputar. Mengingat cerita Santi 
tentang neneknya yang sudah lama meninggal itu. Lalu aku merasa ada yang
 memapahku. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Semua gelap.
***
Pulang
 larut lagi. Berdiri di depan kampus, lagi. Dari kejauhan kulihat sebuah
 angkot biru berjalan mendekat, aku tak berniat untuk naik. Karena aku 
menunggu Kakak untuk menjemputku.
Angkot itu tak berhenti, ia 
melewatiku. Dari kaca angkot yang transparant kulihat sosok Santi dan 
neneknya menyeringai kearahku sabil melambaikan tangan.
Deg!
Bulu kudukku meremang.
Batang, 18 November 2011.
*Tulisan ini udah lama banget. Ini adalah tulisanku yang kalah dalam lomba fiksi foto ultah leutika prio. Ayo krik dan sarannya.. :)


0 komentar:
Posting Komentar