Riau Pos, 13 September 2015



MALAM TERJATUH DI KALI PAINGAN

“karena di sini kita tak lagi kuasa menyelimuti jiwa.” bisikmu sembari meringkuk di jantung gazebo, di antara malam yang terjatuh di atap rumah bambu. angin merangkak, menelusuri waktu yang bungkam. mantel kebekuan, erat memagut badan.
“kubiarkan luka pergi menceburkan diri pada aliran kali ini. melarung ingatan kita tentang ritus rindu tiap hari.” kau menyalakan matamu sebelum kegelapan kian berpijar, nyaris membunuh lampu-lampu.
 di kali paingan, sebelum subuh. lampu-lampu mungkin tak akan terbunuh. biarlah mereka menjadi mata-mata yang menyaksikan malam
memekat dan terjatuh
di sepanjang aliran.

September, 192014





posted under | 1 Comments

Solopos, 2 Agustus 2015

Jika Esok Hari Tak Datang

Jika esok hari tak datang padamu
bagaimana nasib secangkir kopi dan gulungan koran?
apakah kau akan membiarkannya cuaca
dengan larutan kopi yang membadai di dalamnya
ketimpasan kemarin
menggenang dalam kenang

barangkali esok, waktu akan menundung jiwamu pergi
sementara kau selalu paham bahwa tak pernah banyak yang bisa ditebak
dari angka-angka almanak
maka, jika esok hari tak datang padamu
apa yang akan kau rencanakan
untuk terakhir kali?

Batang, 2015

Monolog Sungai Merah Muda
; binatur
1/
di kota ini
sekiranya tubuhku merupa kelir di amplop surat cinta
berdoalah!
untuk arwah ikan-ikan
-sang penghuni arus –
pengabar ngeri dan kematian

aku melihat seorang bocah melintas, menembak pandang dari hasyiah jalan
barangkali membisikkan duka dan merancang kata-kata untuk obituari tua
ketika aliran tubuhku tak lagi menjanjikan surga
selain air beraroma ajal

2/
bila aku mengalir
melahirkan lanskap kelir merah muda
bersajaklah tentang sungai surga yang purna
sebab riwayat para pemacing pernah tertawan
bersama isyarat dendam berkarat di runcing kail

“telah tiada sungai kehidupan
batu-batu mengubur diri pada keruh limbah.
sampah-sampah bak manusia berlangkah sangsai
pasrah pada arus arah!”

3/
entah disebut apa tubuhku ini
sebuah sungai, atau pusara yang mencipta lahat bagi kedatangan mimpi?
pipa-pipa muntah racun tak berpenawar
sungai bak bianglala tanpa hujan
air mata, meruas di jemari kelok arus yang diam
mewariskan bau memabukkan

di kota ini, jika tubuhku merupa kelir merah muda
maka tulislah puisi
tentang sungai
yang mati

02 Desember 2013


Solopos, 2 Agustus 2015.

posted under , | 1 Comments

"Kurnia Hidayati dan Senandika Pemantik Api" esai Julaiha S (Harian Waspada Medan, 2 Agustus 2015)

Kurnia Hidayati dan Senandika Pemantik Api
Oleh: Julaiha S.

            Munculnya sebuah intrik biasanya timbul dari orang-orang sekitar yang iri dan penuh dengan hidup kedustaan. Masalah hati akan semakin merah jika terus disulut dengan persoalan di sekeliling. Kurnia hidayati merupakan salah satu penyair yang mampu menampilkan masalah. Mengenai masalah, kajian resepsi sastra merupakan kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan, baik tanggapan pasif maupun aktif. Dengan adanya masalah, Kurnia berhasil menyusun beberapa puisinya dalam bentuk antologi puisi “Senandika Pemantik Api”.
            Membaca puisi Senandika Pemantik Api, sepintas membuat penulis mengarahkan pena pada unsur yang sangat menentukan untuk pemahaman puisi tersebut. Pertama adalah judulnya yang merupakan roh dalam puisi tersebut. Pemakaian judul Senandika Pemantik Api mengarahkan bahwa hal ini beurusan dengan ‘api’ yang sudah dikenal, namun masih tetap menjaga ketahanan puisi melalui isi dari puisi tersebut. Kedua adalah menentukan interpretasi puisi melalui hubungan aku-kau yang keberadaannya tidak sama. Barangkali kata Aku lebih menjelaskan kehidupan nyata yang kerap dihadapi oleh manusia saat ini. Sedangkan, kata kau berada dibalik kulit puisi tersebut. Makna tersirat yang melekat dalam kata kau, menjadikan puisi ini meluas dan tidak terlibat pada satu pihak saja. Dapat dikatakan bahwa hal ini terjadi kepada semua orang yang telah mencoba bermain dengan ‘api’ yang dimaksudkan.
            Wanita yang meraih beberapa penghargaan dibidang menulis ini berhasil mencicipi persoalan sifat dan tindakan setiap orang, kemudian mengemas-keemasan dalam beberapa puisinya ini. Namun dapat dirasakan secara ‘kental’ pada puisinya yang berjudul “Senandika Pemantik Api”. Perempuan yang lahir di Batang, Jawa Tengah ini memulai puisinya dengan benda-benda. Kepada benda-benda/ kutitipkan hasrat paling membakar// Sebuah perjalanan hidup yang memiliki lika-liku, fajar dan petang, riang dan susah adalah benda yang hidup di dalam hati manusia, perhatikan, /seteru di tubuh tungku/ teror di kepala kompor/ kubikin kandas kertas-kertas, entah buku, entah majalah, entah folio entah hvs, entah tumpukan, entah lembaran//. Sejarah akan abadi jika ditulis, nama akan kekal jika tertanam dalam tulisan. Namun, api dapat membuat kehidupan sejarah lebur menjadi abu. Permainan api yang tidak dapat dijaga, kerap menghasilkan masalah.
            Relasi aku-kau yang dipadukan dalam puisi Senandika Pemandik Api ini menggambarkan sebuah siasat. Siasat yang terbangun merupakan petunjuk untuk memahami tentang perasaan. Sesuatu hal yang akan dilakukan juga kerap memiliki petunjuk agar tidak salah dan berlebihan dalam penggunaannya. Secara harfiah, api dapat membesar dan ganas jika tidak dijaga dengan hati-hati. Sama seperti perkataan Kurnia dalam larik berikut, Kukobarkan pula bentok  diujung-ujung rokok/ selama orang menyesap pada pangal dan lesapkan nyalanya di gigir asbak//. Relasi aku-kau yang dapat dipahami tidak hanya sebagai wujud orang, aku juga dapat dikatakan benda yang bercerita tentang api yang tidak mampu menjadi ‘sahabat’.
            Larik-larik maka, berhati-hatilah kepadaku/ jika manfaat telah jadi khianat, dan timbul syahwat maksiat/ serta tubuhku tersesat dan salah tempat// menggunakan barang, selain memiliki petunjuk juga memiliki peringatan untuk menjaga pemakai agar tetap dalam keadaan baik. Sama halnya dengan aku yang berupaya memberi keselamatan. Ya, barangkali jika manfaat telah jadi khianat, maka akan lahir perpecahan dan perceraian.
Selanjutnya, akan ada belenggu abu dan petaka/ yang bersiap membakar dan membinasakan siapa saja// menjadi penutup yang padat dan tegas. Larik terakhir itu menjadi tombak penuntasan penyair. Jika berkaitan dengan masalah, maka ini adalah keputusan yang diambil melalui ‘petunjuk dan peringatan’. Larik terakhir ini juga tidak semata menjadikan dirinya adalah sosok yang perkasa dan kuat, dengan membakar dan membinasakan siapa saja. Melainkan sebuah argumen renyah untuk tidak sembarang dikunyah.
            Jika melihat dari wujud penyair sebagai seorang perempuan, maka Senandika Pemantik Api yang dimaksudkan dapat dilambangkan sebagai penindasan yang dirasakan perempuan. Sama seperti pernyatakan Rosemarie Tong, seorang tokoh feminis mengenai periode gerakan feminisme, Senandika Pemantik Api merupakan bentuk gerakan feminis eksistensial yang memperjuangkan eksistensi seorang perempuan. Pemakaian bahasa penyair begitu imajis. Terlihat kekayaan imaji yang tidak cukup disifatkan dengan kata metafore atau kiasan: kepala kompor, tubuh tungku, intrik melumer melengkapi varian makna yang dapat ditelaah pembaca. Akhirnya Senandika Pemantik Api memperlihatkan dirinya. Dan Kurnia telah berhasil menjadi tampan dengan racikan kata-kata walau pada kenyataannya merupakan seorang yang cantik.
*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia,

Universitas Negeri Medan
Buku Puisi Senandika Pemantik Api
Esai Julaiha S di Waspada Medan, 2 Agustus 2015.

posted under , | 0 Comments

Buletin Kanal Edisi Juni 2015

Pintu Terakhir II

gelap dan lengang
memanjang
cahaya di ujung itu meruncing ke arah matanya
ia gentar
dan menerka-nerka, apa yang terjadi setelah ini?


di lorong, ia membenci langkahnya sendiri
yang acapkali terhenti dan ragu-ragu
tak berani melangkah maju dan menjangkau pintu
bukan langkah perlahan ke depan
atau seretan kecil ke belakang
ia, tetap berada di tempatnya
 “apakah yang di ujung lorong itu adalah satu pintu untukku?”
tanyanya di antara laju masa, cahaya yang meruncing ke matanya, serta segala ketakuan yang memagut badannya.

Batang, Maret 2015

Mendekati Jendela

Gerun
Kabus itu pelan-pelan tiba
dan pergi dalam diamnya
apa yang tersketsa di jendela
hanya sekilas kedipan mata

kemarin, demikian kau membatin
jalan tertundung punggung
yang kian lama kian jauh
saban detik berlalu
menyaru kenangan baru

maka,
ketika doa-doa raib
bersama ratibmu pada tuhan
ada yang menahanmu untuk turun dari tilam
dan berjalan
mendekati jendela
sebab di sana hanya akan ada luka kemarin
yang sayatnya tak lagi pernah kau ingin


Batang, 2015 

posted under | 0 Comments

Resensi Buku "Berikutnya Kau yang Mati" karya Arie F.Rofian di Harian Rakyat Sumbar (4 Juli 2015)

Enam Ketakutan yang Sama
Oleh: Kurnia Hidayati*

Judul buku: Berikutnya Kau Yang Mati
Penulis : Arie F. Rofian
Penerbit: Moka Media
ISBN: 979-795-970-8
Harga: 39.000
Jumlah Halaman : 178 halaman

            Tak ada yang mampu menghindari kematian. Kematian merupakan suatu keniscayaan bagi setiap yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Kematian adalah suatu misteri besar yang tak terduga. Banyak cara orang menemui ajalnya. Ada yang wajar dan ada yang tidak wajar. Ada yang ikhlas melepas nyawa dengan bahagia ada juga sebaliknya. Kematian yang menurut sebagian orang menakutkan inilah yang coba Arie F. Rofian ramu menjadi jalinan cerita. Novel bergenre horor “Berikutnya Kau yang Mati” ini secara judul sudah menohok pembacanya. Seakan-akan ingin mengingatkan bahwa ending kehidupan manusia bisa datang kapan saja.

Tak ada malam yang tak hitam
Tak ada malam yang tak temaram
Tak ada malam yang tak kelam
Tak ada malam yang tak seram
Tak ada malam yang tak mencekam
malam mencekam
Tik tok tik tok
Detak jam tik tok tik tok
Sunyi dan sepi menemani sampai mati – hlm. 1

Halaman pertama novel ini langsung mencekat saya.
Sebagaimana disampaikan dalam blurb buku bahwa, “ini adalah kisah enam anak manusia”. Novel ini dikisahkan melalui enam sudut pandang berbeda. Masing-masing cerita mempunyai benang merahnya sendiri, akan tetapi saling berjalinan satu sama lain. Bab pertama dikisahkan oleh seorang mahasiswa yang menjabat sebagai Ketua Panitia Makrab. Bab kedua diceritakan dari sudut pandang seorang anggota geng motor yang tengah melakukan touring ke suatu tempat. Alur cerita di bab tiga diambil alih oleh seorang pecandu narkoba yang bertekad membebaskan diri dari jerat barang haram yang selama ini menemani hari-harinya. Sementara itu, pada bab keempat seorang perempuan bernama Andini bertutur tentang hubungannya dengan pria bernama Rusli. Lalu, seorang laki-laki yang terus menerus dihantui mimpi buruk dapat kita jumpai kisahnya di bab lima. Dan pada bab terakhir, seorang kakak mengungkap sebuah rahasia ihwal kematian. Bab pungkasan ini merupakan jawaban atas segala pertanyaan yang muncul saat saya membaca halaman demi halaman cerita. Enam bab yang berbeda ini berkelindan dalam ketakutan yang sama, yaitu kematian. 
            Sosok itu lantas duduk bersebelahan denganku. Duduk kami berdekatan, sangat dekat dengan pundak yang saling bersentuhan. Meski teramat mencekam, pandanganku berusaha menyisir seluruh bagian tubuh dari sosok itu. Wajah sosok itu putih—pucat pasi layaknya orang yang sudah mati. – hlm. 52.
            Namun tak lama kemudian amarahku padam, mendadak aku tersentak, kaget tiada terkira. Rasa simpati dan empatiku bergelora karena dengan mata dan kepalaku sendiri aku menyaksikan kedua bola mata pemuda itu seluruh permukaannya berubah jadi warna putih. Ya, bola mata putih pertanda datangnya celaka. – hlm. 67.
            Mengusung genre horor, Arie F. Rofian terbilang cukup berhasil menciptakan fragmen-fragmen yang membuat jantung saya berdebar abnormal. Kadang, berhenti sejenak, was-was dan menduga-duga, apakah ada sosok dari dunia lain yang sedang mengamati saya juga? Namun, saya dibuat penasaran sehingga ingin segera membaca seluruhnya. Beberapa kali saya menghela napas panjang saat alur cerita tak sesuai seperti yang saya terka. Ya, alunya tak mudah ditebak. Apakah “Berikutnya Kau yang Mati”? Silakan Anda cari sendiri jawabannya di novel ini.

*Kurnia Hidayati, pecinta buku, tinggal di Batang.


Kurnia Hidayati lahir di Batang, Jawa Tengah, 1 Juni 1992. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa seluruh Indonesia. Buku puisi tunggalnya: Senandika Pemantik Api (2015)

posted under , | 0 Comments

Fajar Sumatera, 26 Juni 2015



PEMBIDIK TUPAI

angin
senapan
sepasang gaman

sebelum sampai perkebunan

dari hala utara pohon-pohon cokelat merapat
bagai barisan gelita yang menceritakan enigma
hantu penunggu kebun
yang diam-diam menepuk kuduk
jerit perempuan tanpa badan
menelisik telinga tatkala mendekati rawa

semampai pohon kelapa
batangnya tinggi melampaui kepala
tupai-tupai sembunyi
jeri menanti kersik kaki
manusia yang menjamah rumah kami
membawa pesan tentang mati.

“wahai pengerat yang lihai melompat
terkalah! ke mana peluru akan mengarah.” teriaknya.

seketika peluru mengoyak tabir waktu
seekor tupai terjatuh
dari perkiraannya yang jauh


Batang, 26 Februari 2015 

posted under , | 0 Comments

Kumpulan Puisi Kurnia Hidayati "Senandika Pemantik Api"

Telah terbit "Senandika Pemantik Api" kumpulan Puisi Kurnia Hidayati. 
Pengantar: Prof. Dimas Arika Miharja (Sastrawan)
Sambutan : Dr. H. Ade Dede Rohayana, M. Ag. (Ketua STAIN Pekalongan)
Tebal: xii+84 halaman
Harga: 50 ribu (sudah termasuk ongkir)
Area Tulis-Batang Kota sampai Pekalongan kota gratis ongkir (bisa COD) harga menjadi 35 ribu. 
Pemesanan hub nomer: 08976530393



posted under | 0 Comments

Pikiran Rakyat, 12 April 2015


Sesudah Api

1/
sesudah api lesap pada fragmen malam, kesendirian bagai mencengkeram kuduk diam-diam.
doa-doa menggantungi langit-langit ruang
dan seorang perempuan meringkuk semenjak petang
“wahai hantu dari hala selatan
usaikanlah kembara—gentayangan di jiwa perempuan bimbang
carilah jiwa lain yang kukuh bagai trembesi
yang luput dicicipi gergaji tebang!”
teriak perempuan dalam hati.

namun api telah meliukan diri sebelum padam. jiwa perempuan itu tak pernah usai mengutarakan dendam.

2/
sesudah api undur diri
lepas nyala
jelaga seketika menyongsong mata
doa-doa perempuan berjiwa bimbang
berhambur dan terbang
menyelelinap di kisi ventilasi
melesat menuju hitam cakrawala

sementara malam semakin tinggi
perempuan itu mengigil dan menerka-nerka
kegelapan lain yang tak lagi bisa dinujum mata


Januari 2015




posted under , | 0 Comments

Suara Merdeka, 29 Maret 2015

Kolam THR Kramat
; Batang
timpas kolam ini menyimpan cerita
molek bunga padma, sepeda angsa yang penyap kayuhannya
ayunan kayu dan keriut rantainya, jungkat jungkit yang ditinggalkan penumpangnya, dan prosotan alpa licin tubuhnya

demikianlah, kolam ini mahfum pada peristiwa
masa yang lalu lalang menangkup keramaian hiburan menghilang
tiada lagi riuh orang-orang, deretan motor terparkir, dan sesak loket antrian
sebab, hanya ada timpas kolam
yang diam, dan sesekali tersedu sembari mengenang ingar yang silam


Batang, 2014

posted under , | 0 Comments

Majalah Persada Sastra, 1 Maret 2015

Ada 3 puisi saya yang dimuat di Majalah Persada Sastra bulan Maret. Penasaran? Beli aja majalahnya. :D


posted under , | 0 Comments

Solopos, 1 Maret 2015

Buku Harian Kakek
usai napas dan jiwa kakek melayang jauh sebelum senja, tak ada lagi lakon kehidupan yang mampu kami baca. kecuali buku harian kakek. lahir dari perasan batin menjadi tinta yang menulisi sunyi tiap lembaran. tahun-tahunyang hangus di penanggalan mengajari anak cucunya menerka bagaimana cara kakek tersenyum dengan mata berkaca-kaca selepas waktu mengubur tubuhnya.
kami mengira, kakek adalah laki-laki yang pandai mengeja takdir, ia merencanakan semua peristiwa seperti memahat ornamen di meja ukir; jelas dan teliti. kejadian-kejadian yang menjelma tulisan turut kami rasakan. menjelma jadi ribuan peran berlainan.
kendati kini jemari kakek lebih dahulu dipagut tanah sebelum senja, kendati tak ada yang lebih digdaya membahagiakannya kecuali doa-doa.
namun, buku harian kakek mengajari kami bahwa tak ada kisah seabadi kata.

Batang, September 2014




posted under , | 0 Comments

Buletin Mantra Edisi V, Januari 2015


posted under , | 0 Comments

Radar Surabaya, 11 Januari 2014

Berikut ini adalah satu dari 6 puisi yang dimuat di Radar Surabaya 11 Januari 2015. Selamat membaca.

menghasut pintu dan jendela
kepada pintu
bukan kau yang pertama kali disapa,  jika di luar turun hujan.
            sebab lanskap indah sebuah hari
selalu elok tergambar di jendela
            surat-surat kata yang beterbangan
selalu mengarah kepada kuak tubuhnya
            hablur rintikan hujan,
mengembunkan senandika sunyi di permukaan
             menjelma tulisan yang diciptakan ujung jemari
ketika seseorang iseng dan bosan menulis puisi
maka,
             janganlah mencoba tersenyum kepada jendela
tatkala kalian bertemu mata
            dan bertatapan

kepada jendela
lihatlah siapa yang disapa terlebih dahulu
            dan siapa yang paling bisa meracik remedi rindu saat seseorang jengah menunggu?
            dialah pintu
            darinya berhamburan seribu wajah
yang datang dan pergi, tiba dan kembali
            mengakhiri derit dan ketukan
tabik dan sapaan menghadirkan suasana karib dalam ruangan

pintu  hanya akan mewariskan padamu suasana sunyi
            dan beberapa samar bunyi
ketika ia tertutup dan memajang goyangan kunci
            menyimpan segalanya sebagai rahasia
 tanpa membiarkanmu mengetahuinya

jadi, tak usah bertegur sapa
            jika daun pintu terbuka
dan mendekati tubuhmu

Batang, 2014



posted under , | 2 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan-tulisan

Followers


Recent Comments