Puisi-puisi Kurnia Hidayati di Koran Merapi 11 Desember 2020

 

FRAGMEN NELAYAN

 

Kepada Istri

 

kira-kira ratusan hari aku akan meninggalkan

bongkahan sepi menjadi teman

tidurmu yang rupawan

dandanilah dengan perhiasan

kesetiaan

sampai nanti aku tiba

usai bercengkrama dengan samudera

 

Kepada Suami

 

jauh dan lama

perjalanan itu selalu sampai jua

menjangkau temu dan tubuhmu

namun, bagaimana

bukankah cinta tak sekedar pertukaran kabar

namun ia adalah anak-anak rindu dalam pagutan sabar

 

 

Kepada Anak

 

tak perlu menyerah

belajar tanpa ayah

sebab kasih sayang

telah mengucur semenjak moyang

izinkan ayah mengembara

menenun rizki untuk kita

kuatlah menggenggam rindu

merawat cinta bersama ibu

 

Batang, 16 September 2020

 

 

 

 

 

ALAMAT KESEDIHAN

 

 

Ada yang berjalinan menjahit

lembar perkamen di kepala

Raga dewasa yang kini kumiliki tak kukira ia

masih menimang kesedihan masa belia

Segalanya menyesak, sungsang dan masai

Pada sisi batin paling rahasia

Yang terselip dalam sukma

Acapkali ia tiba serupa hantu

Menyusup dalam mimpi

Mengejar tubuhku

 

Kucari-cari kawan dalam keramaian

Namun yang kutemukan tetaplah kesepian

Aku mengangguk padanya sebab ia adalah lagu yang mengiringi arah langkah

Pada kumal sepasang terompah

 

Dalam batinku

Luka-luka lama bersitumbuh merupa kesakitan baru

Tanpa ujung jalan ia memanjang, menggamit redup lampu-lampu

Aku tertatih mencari alamat kesedihanku

Masa lalu perlahan menimbunnya dengan debu

Berkali-kali aku jatuh dan tersungkur dihadang badai ingatan

Untuk sekedar menuliskan nomor rumah dan nama jalan

Sebab ia nyaris terlupa

Padahal suara pilunya sering terdengar di telinga

Tapi harus kutemukan ia

Meski musykil kurasa

Sebab masih ada diriku di masa lalu yang perlu kubantu

Untuk sembuh dan memaafkan sayat luka dan pilu

 

Batang, 2020



posted under | 0 Comments

PUISI-PUISI KURNIA HIDAYATI DI HARIAN BHIRAWA (SURABAYA) EDISI 4 SEPTEMBER 2020


 

KEPADA ANAK KECIL DALAM DIRIKU

 

Untukmu yang terbelenggu

dalam raga orang dewasa

aku melihatmu; tertunduk dan menangis

kecewa dan sedih

di sudut kamarku

 

memeluk lutut

tiada garis bahagia

hanya raung di antara raut murung

tak menyadari bahwa ada luka

yang luput menemukan penyembuhannya

 

****

kepada anak kecil dalam diriku

sudahkah kau menyelesaikan

guliran gundu di tanah pekarangan waktu itu?

kau yang piawai memainkannya

bersama kawan sebaya

tertawa dan melupakan apa saja

termasuk tipu daya dunia

 

kepada anak kecil dalam diriku

lihatlah! Jernih alur sungai di depan rumah

ia menanti, kau menceburkan diri

menelusuri arus dan kelokan

Batuan serta ikan-ikan

Hingga kuyup basah

Mengingkari segala resah

 

Kau tak bisa dusta bahwa kanak-kanakmu tak sempurna

Panjat pohon, lompat tali, rumah-rumahan boneka

Namun, kau tetap paham bahwa hidup berjalinan antara suka duka

 

***

Untuk tangis yang tersembunyi dalam lahat masa kini

Ingatlah bahwa kini ia hanya ingin mengenangnya

Sebagai bagian dari perjalanan usia

 

Batang, 16 Oktober 2019

 


posted under | 0 Comments

PUISI-PUISI KURNIA HIDAYATI DI RADAR PEKALONGAN, 3 September 2020


 










Mimpi Buruk Kesunyian

 

Mimpi buruk kesunyian adalah mencari tanpa menemukan

Di batin mana ia terdiam

 

Padahal sunyi ini paling ngeri

Tertoreh sepanjang sejarah negeri

Orang-orang diam dalam rumah bersama kesunyiannya sendiri

 

Mungkin di balik pintu, ada seseorang

Meringkuk dan mengenang

Sepasang terompah 

Dan sisa petualangan

Namun kesunyian kian menyengsarakan

Dengan mimipi buruk dan rasa sakit tanpa muara

Tatkala nyawa telah tiada

akan tiba pula

Sunyi lain yang serupa

Dengan raut wajahnya

 

Batang, 21 Juni 2020

 


posted under | 0 Comments

PUISI-PUISI KURNIA HIDAYATI DI SUARA MERDEKA 23 Agustus 2020


 Aku kembali ....menuliskan puisi. Di bawah ini adalah salah satu puisi saya yang dimuat di Suara Merdeka, 23 Agustus 2020. Selamat membaca 




Kelasi-kelasi Tua

 

Kelak kita akan pergi jauh dari laut ini, meninggalkan semuanya;

Perahu

ikan-ikan

jala

palka

jangkar dingin

rantai-rantai berkarat

geladak yang kesepian, dan

kelasi-kelasi lain

 

ternyata badai tak seberapa mengguncang

dibanding hanya menyimpan

seluruh perjalanan dalam kenang

namun,

kelasi tetaplah manusia – yang punya batas masa

tak perlu ragu-ragu pada tenaganya

sementara usia akan terus menua

menuju akhir perjalanannya

 

kelak kita akan berpamitan

menanggalkan segalanya

; alat pancing, topi, pakaian, umpan, ikan-ikan

dan laut yang menenggelamkan

 

cukuplah kerut raut dan putih rambut

menandai akhir tualang

dalam sebuah kisah panjang

 

Batang, 25 Juni 2020

posted under | 0 Comments

Puisi Kurnia Hidayati dalam Antologi Tifa Nusantara


menghasut pintu dan jendela

kepada pintu
bukan kau yang pertama kali disapa,  jika di luar turun hujan.
            sebab lanskap indah sebuah hari
selalu elok tergambar di jendela
            surat-surat kata yang beterbangan
selalu mengarah kepada kuak tubuhnya
            hablur rintikan hujan,
mengembunkan senandika sunyi di permukaan
             menjelma tulisan yang diciptakan ujung jemari
ketika seseorang iseng dan bosan menulis puisi
maka,
             janganlah mencoba tersenyum kepada jendela
tatkala kalian bertemu mata
            dan bertatapan

kepada jendela
lihatlah siapa yang disapa terlebih dahulu
            dan siapa yang paling bisa meracik remedi rindu saat seseorang jengah menunggu?
            dialah pintu
            darinya berhamburan seribu wajah
yang datang dan pergi, tiba dan kembali
            mengakhiri derit dan ketukan
tabik dan sapaan menghadirkan suasana karib dalam ruangan

pintu  hanya akan mewariskan padamu suasana sunyi
            dan beberapa samar bunyi
ketika ia tertutup dan memajang goyangan kunci
            menyimpan segalanya sebagai rahasia
 tanpa membiarkanmu mengetahuinya

jadi, tak usah bertegur sapa
            jika daun pintu terbuka
dan mendekati tubuhmu
Batang, 2014




Maaf aku agak lupa covernya yang mana. Soalnya ada dua cover.


posted under | 0 Comments

Puisi Kurnia Hidayati dalam Antologi Dari Negeri Poci 6 "Negeri Laut"


PERANGAI SEPASANG ANGIN
KURNIA HIDAYATI
i.
yang datang dari daratan, menating cahaya bulan, telah membahasakan asin laut pada nelayan. jala dan kail pancing serta perahu yang tertambat di dermaga, menyongsong ikan-ikan yang berumah dalam samudera
“dengan siasat angin kami berangkat, sebab Tuhan telah menitipkan janji pada tiap kesiurnya. perahu kami akan pergi sepenuh doa. ”

ii.
menghempaslah ia dari penjuru samudera
nelayan akan lekas tiba membawa tawanan ikan dalam jala
sauh segera jatuh
perahu beringsut mendekati dermaga
betapa indah angin menuntun nelayan jauh ke daratan. umpama saudara dengan lembut gandengan tangan
“dengan cerlang matahari pagi yang hangat menuju siang, sore temaram dan batas hari yang membentang. kami pulang sepenuh syukur bersama kelindan ikan-ikan di dalam jala. Tuhan mengutus angin, mengizinkan kami tiba di pesisir.”

2014



posted under | 0 Comments

Puisi Kurnia Hidayati dalam Antologi Dari Negeri Poci 7 "Negeri Awan"


PERANGAI SEPASANG ANGIN
KURNIA HIDAYATI

i.
yang datang dari daratan, menating cahaya bulan, telah membahasakan asin laut pada nelayan. jala dan kail pancing serta perahu yang tertambat di dermaga, menyongsong ikan-ikan yang berumah dalam samudera
“dengan siasat angin kami berangkat, sebab Tuhan telah menitipkan janji pada tiap kesiurnya. perahu kami akan pergi sepenuh doa. ”

ii.
menghempaslah ia dari penjuru samudera
nelayan akan lekas tiba membawa tawanan ikan dalam jala
sauh segera jatuh
perahu beringsut mendekati dermaga
betapa indah angin menuntun nelayan jauh ke daratan. umpama saudara dengan lembut gandengan tangan
“dengan cerlang matahari pagi yang hangat menuju siang, sore temaram dan batas hari yang membentang. kami pulang sepenuh syukur bersama kelindan ikan-ikan di dalam jala. Tuhan mengutus angin, mengizinkan kami tiba di pesisir.”

2014





Puisi Kurnia Hidayati di Radar Pekalongan, 14 Juli 2018

Elegi Perahu Tua
1/
Yang jauh di belakang punggung; waktu dan hari-hari
Ingatan lesap, di tahun-tahun yang berganti
Umpama membilang ajal yang tiba tanpa pertanda
Aku mengeja was-was yang rumit jalinan jala
Menjaring kata-kata beralunan iba
“Betapa malang nasib sang petualang!
Terkatung di tempatnya pulang.
Tiada lagi kidung perahu berangkat menebar pukat
Hanya perahu tua, menanti kehancurannya …”
Begitulah orang-orang berkata, semenjak aku undur dari arung samudera
barangkali udzur adalah sebuah keniscayaan
yang memilukan di antara digdayanya kenangan
2/
Kini, hanya dermaga menjelma telingabagi perahu tua
Yang lapuk dan terluka
Para kelasi telah pergi
Mendekati perahu lain yang sarat dengan mimpi; perahu perkasa yang lihai
membelah samudera
Tinggal menunggu kapan aliran lekas mencerna bagian-bagian badan
Tapi izinkan untuk mengenang
Bagaimana tangguhnya menaklukkan badai
Sebelum jasadku benar-benar hilang
Batang, 31 Agustus 2017

posted under , | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan-tulisan

Followers


Recent Comments