PUISI-PUISI KURNIA HIDAYATI DI SUARA MERDEKA, 26 DESEMBER 2021
PERPUSTAKAAN
NENEK
1/
Teraba di dinding
perpustakaan nenek
Kesunyian semasa
muda melindap
Di antara beban
hidup dan kesedihan
Linang air matanya
tersimpan pula di sela-sela buku yang tertata
2/
Tak ada larangan
untuk diam
Sebab ia selalu
bisa membaca dalam beragam keadaan
Riuh tangis
anak-anak atau pekik teriak para pembeli
Juga gerincing
barang pecah belah menyesak di rak piring
Selain bekerja
keras, nenek tak pantang belajar
Dipinjamnya bacaan
dari berbagai sudut ilmu
Dan kembali
dituliskan jadi buku baru yang disimpan di perpustakaan
Namun, semenjak
rasa sakit mulai membakar sebagian lembar ingatan
Yang dibawa nenek
dari perpustakaan
Buku-buku dan
koran tiba-tiba menjadi lawas, aroma lembab
Terhidu di antara
lapuk ritus rayap
Meningkahi detik
jam renta, pigura, dan foto-foto di dinding
memudar luput
memagut kejelasan gambar
3/
Sejak kecil, aku
senang mengunjungi perpustakaan yang nenek bangun sendiri
Di dalam hati dan
benaknya
Kendati sederhana
serupa perempuan desa
Tanpa gelar tinggi
pendidikan
Namun kalimat
tanya senantiasa terjawab sempurna
Kini, kepada siapa
lagi aku harus mencari?
Perihal pertanyaan
yang tak kumengerti
Sebab nenek telah
membawa perpustakaannya pergi
Undur diri dari sorak-sorai
duniawi
Maka, izinkanlah
aku membikin salinan perpustakaan nenek
Dari kelebat
kenangan masa kecilku
Agar bisa
dikunjungi anak dan cucuku kelak
Batang, 2021
KAMAR MASA
KECIL
Kemudian ia
bertahan memeram kesepian
Di sebuah kamar
masa kecil
Yang gelap dan
masai
Mainan runyak yang
terlupakan
Pakaian kotor
terkulai
Lunglai di atas
lantai
Tampak pula gurat
impian dan coretan
Wajah-wajah tanpa
badan
Yang bermula dari
imajinasi di kepala
Kamar masa kecil
adalah kotak hadiah empat persegi
Bagi kehidupan
Hingga ia dapat
menuliskan
Tawa dan
kebahagiaan
Yang terpatri pada
jejak-jejak hari
Seiring dengan
bilangan lilin yang ditiup
Bersamaan ledakan
balon warna
Pada fragmen pesta
kelahiran
Batang, 4 Juli
2021
DUA RUPA ANONIM
/rupa pertama/
Ada yang berjenama
semenjak tangis pertama. Memilih tiba sebagai asing, menanggalkan muka dan
nama. Sementara, tangannya sembunyi, memilih sepi. Sembari melepaskan gana yang
dimiliki.
Tak perlu mencari dan
menelusuri, berusaha tau apa yang telah ia beri. Persetan dengan berpasang
mata. Sebab ia hanya ingin ditatap Tuhannya. Baginya,
harta benda hanya amanat, yang binasa
usai lepasnya hayat.
/rupa kedua/
Bagiku, ia tak piawai
mengubur nyeri, membagi-bagi rupa kegelisahan dalam hati. Menyakiti tanpa ingin dikenali. Berharap
orang lain terluka tanpa mengenalnya.
Apakah nama lain darinya
yang gemar menyerang, selain pecundang?
Kendati luput dari mata
manusia. Namun ia ditandai oleh Tuhannya.
Batang, 18 Januari 2021
MONOLOG
CERMIN
Wajah di pantulan hanyalah cuplikan
dari tampilan raga seorang perempuan
terpoles malu untuk mata kamera
namun, cermin tak pernah berdusta
bagaimana pertinggal di sana
tidak salah jika tercipta sedemikian rupa
baik-buruk itu bukanlah pertanda
orang lain bisa menghina
dengan semena-mena
Batang, 2020
KELUARGA
LUKA
Hanya umpat dan teriak
Tatkala rahang pintu merengkuh dengan payah dentum daunnya
Kasar dan getar. Menghuni telinga. Di antara debar
jantung yang mencekeram sampai punggung
Tak habis ia mengerti, mengapa saling menyakiti?
Padahal mereka sedarah
dalam pagutan sebuah rumah
Entah siapa yang mengawali?
Jika lantas mencederai satu dan lainnya
Dengan luka yang sama, kata-kata atau lemparan benda-benda
Mengguratkan bekasnya di tubuh dan jiwa
Padahal nama mereka bersatu
Dalam satu lembar kartu
Bukan adegan dalam film drama atau sebuah dialog cerita
Keluarga luka harus lekas diobati sebelum kian saling menyakiti
Sebelum menyesal karena menyayangi dengan
gagal
Padahal mereka bersama
Sebagai sebuah keluarga
Batang, 4 September 2020
Recent Comments