Radar Surabaya, 11 Januari 2014

Berikut ini adalah satu dari 6 puisi yang dimuat di Radar Surabaya 11 Januari 2015. Selamat membaca.

menghasut pintu dan jendela
kepada pintu
bukan kau yang pertama kali disapa,  jika di luar turun hujan.
            sebab lanskap indah sebuah hari
selalu elok tergambar di jendela
            surat-surat kata yang beterbangan
selalu mengarah kepada kuak tubuhnya
            hablur rintikan hujan,
mengembunkan senandika sunyi di permukaan
             menjelma tulisan yang diciptakan ujung jemari
ketika seseorang iseng dan bosan menulis puisi
maka,
             janganlah mencoba tersenyum kepada jendela
tatkala kalian bertemu mata
            dan bertatapan

kepada jendela
lihatlah siapa yang disapa terlebih dahulu
            dan siapa yang paling bisa meracik remedi rindu saat seseorang jengah menunggu?
            dialah pintu
            darinya berhamburan seribu wajah
yang datang dan pergi, tiba dan kembali
            mengakhiri derit dan ketukan
tabik dan sapaan menghadirkan suasana karib dalam ruangan

pintu  hanya akan mewariskan padamu suasana sunyi
            dan beberapa samar bunyi
ketika ia tertutup dan memajang goyangan kunci
            menyimpan segalanya sebagai rahasia
 tanpa membiarkanmu mengetahuinya

jadi, tak usah bertegur sapa
            jika daun pintu terbuka
dan mendekati tubuhmu

Batang, 2014



posted under , | 2 Comments

Tabloid Duta Selaparang, 15 Desember 2014

Hujan, 1

maka melambailah sunyi di jalan ini, tepat saat hujan turun.
akan ada hari yang panjang dengan murung menetap di emperan toko, di tubuh gelandangan yang kumal basah, di kertas koran yang tercecer hancur sebagai bubur obituari basi.
hujan telah membasahi jiwa kami, tuan, yang lengang seperti lorong tanpa ujung. kekecewaan telah merampas segala hiruk-pikuk, ramai cahaya lampu yang berkedip tiap malam, juga pendaran elan dan ketakutan yang berdenyar bergantian. kami selalu menunggu lengkung bianglala, baik ketika pagi maupun senja, baik tatkala cakrawala menggelar hujan maupun mentari keemasan. sebab ketika malam, semuanya tak akan tampak lagi selain kegelapan kecuali jika nyala lampu tak benar-benar redup malam ini. seperti jiwa.

2014



Link: http://dutaselaparang.com/?p=721


posted under , | 0 Comments

Harian Cakrawala Makassar, 31 Oktober 2014


Pisau
baik-baiklah bermain pisau
tajam ujungnya adalah kutipan kilat tanpa hujan
ia memotong dan mencacah kenangan seperti memburu urat daging
ia  memisah perjumpaan seperti menebas ruas sayuran
ia memenggal rindu bagai membelah ranum buah-buahan
dan menyulapnya jadi beberapa bagian

baik-baiklah memegang pisau
jangan salah sisi, bedakan mana yang musti jadi pegangan
dan mana yang ngeri membahayakan

6 Agustus 2014

Pemungut Kamboja

sebelum lindap gigil pagi buta, ia muncul sebagai pengucap salam yang pertama. tatkala subuh baru saja rubuh dan lingkar jeda adzan masih bisa disentuh. dan matahari,adalah bulatan berumah terjauh yang hanya bisa diimpikan dan diangankan seperti pengguk yang selalu merindukan jatuh dan merengkuh.

“Assalamualaikum, Ya Ahlal Kubur ....”

dari gerbang pemakaman, pusara-pusara yang tertata seperti menyimpan ribuan mata, mengawasinya dari penjuru, membaca langkah kakinya yang ragu-ragu, namun terburu.
dan daun kering yang tidur di antaranya mungkin surat cinta yang terlupa, mendamba tangan untuk memungut, dan berdoa agar kehidupan tak pernah melupakan janji tentang maut. 

yang sunyi, hanyalah doa
sebab pagi akan segera tiba

perempuan itu masuk sebagai pemungut kembang kamboja yang luruh di antara tubuh pusara.
 silahkan menghitung berapa jumlah kesepian nisan yang dipungutnya, berapa jumlah kekosongan yang menelisik ke dalam relung plastik di tangannya.
Batang, 2014
 

posted under , | 0 Comments

Suara Merdeka, 28 September 2014



Mengenang Perigi

semenjak timba berhenti terjatuh di permukaan, aku tak lagi bisa mendengar segala bunyi
termasuk bunyi masa kanak tanpa pompa air,  timba condong ke tubuh, mengantar kesegaran mengalir.
 hanya kiambang pucat dan segala kenang. mengambang. menguasai rumah ikan-ikan, serupa rerumputan yang mencegah timba memecah permukaan.

tak ada ingatan sedalam hari ini, terpatri jauh dalam curam dinding perigi.
jemari tanganku hanyalah kesunyian waktu yang membilang hari dalam buku-buku.
tatkala timba bergoyang dalam kekang tali, suaranya berderit ngeri mengikir gigi.
 aku menunggu timba mentas ke atas membawa air, dan menjemputnya lekas.

tapi perigi, tak lagi jernih seperti puisi


2014






posted under , | 0 Comments

Harian Mata Banua, 30 Agustus 2014

 
kepada biji kopi
; Silengis

kepada biji kopi
kutuliskan puisi tentang hutan dan tanah kehitaman
perempuan pemanen berpeluh dan karung-karungnya yang penuh
melingkarkan rindu pada tubuh pohonan
dan cerlang mentari keperak-perakan

biji kopi silengis itu
senantiasa menyimpan riwayat hujan dalam cangkir seduhan

3 Mei 2014



posted under , | 0 Comments

Radar Surabaya, 10 Agustus 2014

PUISI KURNIA HIDAYATI

empat puluh hari

mengunjungi rumahmu, empat puluh hari selepas hari itu
kenangan tak lekas moksa; pucat jasad lelap di keranda
telah melepaskan ingatan tentang sakit dan rintihan
dan namamu, melayang bersama doa

masih terhidu harum balsem.
baju hangat yang telah jadi dingin
tergantung di belakang pintu

aku tercenung
membayangkan. betapa nyeri
rasanya sendiri 
dalam rumah hampa begini

di kamar, ranjangmu merangkum semua rasa
dalam ratusan hari penantian yang sabar
bagai debar angin yang hendak menembus kisi sempit di jendela
sakit itu, sebenar cinta abadi di tubuhmu

empat puluh hari selepas hari itu
lamat-lamat aku mendengar gaung suaramu
seperti desau angin yang melansir ingatan
seperti rintik-rintik syahdu kasidah hujan
tapi entah, datang dari mana

2013




posted under , | 1 Comments

Riau Pos, 20 Juli 2014

PUISI-PUISI KURNIA HIDAYATI

kopi lagi

kopi lagi, Brengkolang!
adalah cindera mata di atas meja
sebelum suluh lampu surup ke dalam hangat pagutan tubuh malam

aku dan kopi adalah sengketa
saat malam memajang nestapa
bagai batin kita yang porak poranda
ketika sunyi menghajar dengan siasat dendam
dan kita, memilih mati berkali-kali

kopi lagi, Brengkolang!
sebelum nyala lampu malap dan undur diri
tanpa santun kata dan kecupan bait puisi
ketika pagi tiba
hanya ada timpas cangkir
dan kopi hanya menyisakan gelap dan pahitnya

2014



posted under , | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan-tulisan

Followers


Recent Comments