Puisi Jadul :Pengais Terang


Pengais Terang (Tema: Bertahannya hidup seseorang)

Oleh: Kurnia Hidayati

1.
Tiba-tiba aku ingin menjadi kunang-kunang. Yang lepas dari toples kaca lantas hinggap di pundakmu. Agar sedikit saja aku mampu, memberi sedikit cahaya
Pada malam-malammu yang membuta

Ah, apa yang kau cari? Duhai pengais terang
Kaleng bekas sarden atau bungkus nasi yang malang
Lalu baju-baju yang dibiarkan usang
Di mainkan angin—membikin tubuhmu menggelinjang?


2.
Apa yang tertinggal di pendar lampu taman?
Siluet tubuh itu mendadak menampilkan liuk tanpa keindahan
Kau masih saja berjalan, tanpa alpa menghitung imajinasi warna
Mengenai nasi, mengenai jus warna merah muda
Namun, tak pernah nyata

Tubuhmu benar-benar hampir rubuh
Dihempas peradaban, diguyur angan-angan yang bisa saja menderas tiba-tiba. Membawamu hanyut, menelan tubuhmu yang susut.
Namun, kau tetap saja bertahan. Mengais-ngais terang.
Dari satu ruang ke ruang

mendadak aku bimbang. Harus menamaimu sebagai apa?

posted under | 1 Comments

Tadarus Kesunyian

oleh: Kurnia Hidayati

kecuali pundak memberat, elan kita masih cukup seperti nyala senter penuh baterai
:belum mau redup

langgar belum bosan melompong
kita datang sambil membopong
kitab langit
speaker menyuarakan nada-nada getar
sebelum bunyi ayat datang melambar
menggambar
langit ramadhan

malam melarut
mushaf berlembar belum mengkerut
kita berganti-ganti mengeja, huruf demi huruf
memahami harakat, tanda baca, kaidah-kaidah, juga mad-mad yang penuh
menghias kata-kataNya

tadarus sunyi ini
di langgar dingin
minim kabar
kita melansir ayat-ayat
lewat speaker yang kadang mati
namun, niat kita terus berkobar
mengejar
pahala dari
Tuhan yang Maha Sabar


Batang, 29 Juli

posted under | 0 Comments

Rumah Sakit

Oleh: Kurnia Hidayati

sengaja kubenci rumah sakit. Ibu bilang, rumah sakit adalah tempat jiwa-jiwa malang. Jika siang, orang-orang antri di muka loket menanti kepastian; bermata sayu, bermata nyalang. Ada yang cepat, ada yang tak kunjung datang.

sengaja kuhindari rumah sakit. Kata Ibu, rumah sakit adalah rumah bagi rasa nyeri yang buntu. Bukan hanya pada malam, pasien terbaring tidur merenda harap dipanjangkan umur. Atau obat-obatan yang dipaksa terulur ke dalam daya tubuh sarat mengendur.

sengaja kubuat jarak dengan rumah sakit. Pesan Ibu, jagalah kesehatan. Sebab harganya lebih mahal dari emas permata. Ibu, aku takut dengan bau desinfektan. Atau teriak sirine ambulan.

sengaja kutulis puisi tentang rumah sakit. Ibu berujar, jangan kau benci rumah sakit. Kau hanya perlu bersyukur dan menjaga setiap nikmat dariNya.

Batang, 21 Juli 2012

posted under | 0 Comments

Kepadamu Cinta

Kepadamu Cinta*
Oleh: Kurnia Hidayati

1/
hampir semua musim selalu tiba sebagai hujan yang beku di pelataran rumah hatimu. menawarkan pertemuan-perpisahan paling bisu. bahkan ketika aku sibuk berkata manis, perihal bulan, perihal langit malam. Berulang-ulang, meski kutahu langitmu mungkin tak selebam luka hatiku.

kepadamu, yang kunamai cinta. berulang kali kusesap fragmen-fragmen rindu hambar yang sengaja kutuang di cangkir kopiku saban pagi. biarlah kuteguk semuanya sendiri meski kehadiran ragamu tak lain hanya kelebat bayang yang datang bersama nyeri bertandang. mungkin sampai kau mau menjadi sebelah tanganku untuk menepuk cinta, agar tak sebelah saja.
2/
sampai pada tanda ketika kau bersikeras membuat jurang nganga, batas antara; aku, kau dan rasa.
Kepadamu, kau tetap kucintai sebagaimana kelam mencintai malam. walau kau selalu menutup pintu ketika aku datang mencoba memainkan ribuan peran yang senantiasa engkau dambakan.

Batang, 30 Juni 2012

*puisi yang masuk 5 besar dalam perlombaan menulis puisi dengan tema "Indah Cinta, Pedih Duka"
Selamat menikmati :)

posted under | 0 Comments

Puisi Potret Pendidikan di Indonesia: Surat Kepada Madrasah

Surat Kepada Madrasah*
Oleh: Kurnia Hidayati

Aku telah gagal mengekalkan segala lanskap yang pernah tertinggal, sebagai memori paling janggal
Mengenai madrasah yang ramai muridnya
I.
Bertahun lalu...
Pagi-pagi benar bu guru datang mengajar, menguar senyum
Meski atap kelas bisa rubuh kapan saja--membikin dentum

Apa yang tertinggal?
Derit pintu, genang air sisa hujan, bangku-meja lapuk
Langit-langitnya menatap sengit, menawarkan satu juta kemungkinan pahit
Namun anak-anak itu masih berapi asa.
Meronce butir ilmu dari bulir keringat bu guru
II.
Ah, betahun lalu.
Dan kini madrasah masih tetap begitu. Celaka, masa membikin tambah merana menyajikan perpisahan paling tiada. Atap telah benar-benar ambruk, tangis-ratap saling tubruk. Sebagai tanda kealpaan murid-murid untuk selamanya.
Sebab tak ada lagi yang sudi menjenguknya, untuk sekedar bertanya tentang kabar. Tentang bulir hujan yang kadang menjadikan ruang kelas sebagai rumah kedua, berlama-lama, sampai waktu dan udara menjemputnya. Mengajak pulang.

Maka semua ini kuriwayatkan saja, kutulis sebuah surat berisi pesan amarah juga kerinduan. Kepada petingi di mana uang dibawa lari, kepada bu guru yang dulu sering tergugu melihat murid-murid selalu menunggu. Lantas kutinggalkan surat yang telah jadi, di atas bangku kelas yang sunyi. Membiarkannya sendiri.

Dan entah, akan dibaca siapa.


*puisi ini kurang beruntung dan tidak lolos dalam suatu lomba. Silahkan dikritik dan dibantai.
:)
Daripada disimpan ntar busuk. Aku bagi-bagi saja puisi ini. Hehe
Selamat menikmati.

posted under | 2 Comments

Paragraf


Paragraf


Oleh: Kurnia Hidayati

Paragraf ini membawa kata-kata kita melayang tak mau berpijak.

Di langit-langit kita sibuk membilang lelah yang karib, sedang kantuk menggerayangi mata kita
sejak kemarin

ah, apa yang sebenarnya ingin kita tulis?
sedang huruf-huruf telah lam terperangkap
di koran-korang bekas, di dinding basah bekas hujan
juga di mata wanita
yang sering kita panggil ibu

bukankah kita memang selalu begini?

baris kata ini lama-lama akan membunu kita
berbelanja keluh, lantas disimpan di kantung mata kita

Sudahlah
kita akhiri saja
paragraf ini

Batang, 11 Juni 2012

posted under | 0 Comments

Perpus, Kampus, Tugas, Mesin Fotocopy


Perpus, Kampus, Tugas, Mesin Fotocopy

Oleh: Kurnia Hidayati
barangkali kita memang perlu menutup mulut
rapat
menyimpan segala : pekak telinga, riuh gaduh, rapat gerimis, menggedor atap
juga siluet kekalahan, yang diam-diam mau mengambil alih tempat kita berpijak


sebab petir memang selalu berlarian
di kepala kita
bahkan ketika hujan tak mau lagi
menebar basah di pelataran rumah tempat singgah
seribu keluh kesah


di langit-langit
di pintu berderit
telah terbaca tiga belas kisah pahit
mengenai tugas, mengenai uas
sedang pertemuan kita tak lain hanya perpus dan kampus
hingga terpaksa kita meninggalkan jejak tak mudah terhapus

sementara

ah, tibatiba aku rindu mesin fotocopy
sebab kuingin sekali saja, menggandakan titik kehangatan untuk siapa saja
jikalau udara memang tak mampu mengantarkan kidung keceriaan
yang kini masih tertinggal di curam kalbu paling nestapa

batang, 8 jun 2012

*Puisi tentang kegelisahan tugas yang deadlinenya mepet dengan jadwal uas

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan-tulisan

Followers


Recent Comments