FF: Perkiraan yang Salah
Perkiraan yang Salah
Oleh: Kurnia Hidayati
“Kenapa
kamu kesini lagi? Cepat pergi, sebelum aku meneriakimu maling?!” Nada
suaraku meninggi. Emosiku mudah sekali tersulut kalau sedang lelah
begini. Pulang kuliah, tugas menumpuk, di kampus dimarahi dosen, dan
sekarang di depan kontrakkanku ada gelandangan yang sudah dua hari ini
‘menyambangiku’.
Sejak kemarin aku sudah mengusirnya. Tapi anehnya
ia tetap saja tak jera mendengar omelan panjang lebarku. Entah darimana
datangnya dia. Seorang anak kecil aneh yang duduk membenamkan wajahnya
dikedua lututnya yang ditekuk. Dilihat dari penampilannya, kutebak kalau
ia adalah seorang anak jalanan. Ya, style anak lingkungan
kumuh memang sangat kukenal. Karena, beberapa bulan lalu aku pernah
ditugaskan untuk praktek mengajar di sebuah perkampungan sekitar TPA.
“Dia pengemis yang belum kamu kasih duit kali, Shin?” ujar Vina teman kampusku ketika kuceritakan perihal anak itu.
“Enak aja, kemarin aku nggak ketemu pengemis sama sekali.” jawabku.
***
Aku
tak pernah tahu kapan ia datang dan kapan ia pergi. Pagi-pagi ketika
berangkat kuliah, ia tak ada disana. Lalu sepulang kuliah, ia sudah
disana. Duduk di teras kontrakkan dengan posisi favoritnya.
Sampai hari ketujuh kedatangannya, tak sedikitpun kudapat informasi
tentang dirinya. Bahkan melihat wajahnya dan mendengar suranyapun aku
tak pernah. Kucoba dengan segala cara, mulai dari bertanya, dari yang
halus sampai yang kasar. Ia tetap diam, tak menjawab. Ia seakan tak
mendengar dan tak merasakan apa yang kulakukan kepadanya.
Hari kedelapan.
Kesabaranku sudah habis! Teriakku
dalam hati. Aku tak tahan mendengar omongan orang-orang satu kompleks
kalau dia masih disini, mengganggu pemandangan saja!
“Hei kamu!!”
hardikku sambil menarik tangannya. Ia tetap mempertahankan posisinya. Ia
tetap tak mau pergi, seakan ia juga tak mengizinkanku melihat wajahnya.
Semakin keras aku menarik tangan juga tubuhnya, semakin kuat pula ia
mencoba menutup wajahnya.
Byurrr!!
Tubuhnya basah kuyup.
Kuangkat wajahku penuh kemenangan. Sesaat kemudian ia beranjak dan
berlari meninggalkanku lalu tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
Sempat kudengar isak tangisnya. Ada sedikit perasaan iba. Namun,
kuabaikan begitu saja.
Kuhela nafas lega. Baguslah! Setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan dia. Gumamku dalam hati.
***
Hai Bu Shinta,
Bu
Shinta adalah guru favorit Odi dan teman-teman. Ibu sangat sabar
mengajar matematika yang katanya susah itu. Berkat Bu Shinta, Odi dan
teman-teman udah nggak sering dipalaki Mang Ujo, preman yang suka
mengambil uang ngamen kami. Karena kami udah pintar berhitung. Berkat Bu
Shinta juga, kami menjadi anak-anak yang lebih berbudi luhur dan
menghindari sifat tercela.
Maafkan Odi, Bu,
kalau Odi udah bikin Ibu marah. Tapi, jujur Odi kecewa, ternyata Bu
Shinta nggak sebaik yang Odi kira. Senja itu Odi datang buat ngasih
kejutan buat Ibu. Tapi, pertama kali Odi datang ketempat Ibu, Odi sudah
dimarahi. Odi jadi berfikir mungkin lebih baik Odi nggak bilang kalau
Odi datang.. Tapi, saking kangen dan sayangnya Odi sama Ibu, Odi rela
dicaci maki sama Ibu. Mendengar omelan Ibu aja Odi sudah seneng banget.
Ibu tahu tidak, teman-teman di tempat Odi juga sangat senang mendengar
cerita kalau Odi sudah ketemu Ibu. Odi tahu, bohong itu dosa. Sama
seperti yang Ibu ajarkan. Maaf. Odi terpaksa bohong sama teman-teman.
Odi bilang kalau Ibu juga senang ketemu Odi. Dan mereka malah ingin
ketemu Bu Shinta juga.
Tapi, Ibu tenang saja.
Kemarin Odi sudah jujur. Odi katakan yang sebenarnya kalau Bu Shinta
amat sangat menyayangi Odi dan teman-teman. Sekian dulu, Bu. Semoga Ibu
selalu bahagia.
Odi.
Kupeluk surat dari Odi. Surat yang kutemukan terselip di bawah pintu itu, kini telah basah.
***
Batang, 6 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar