FF: Payung Hitam
Payung Hitam
“Kamu lihat payungku?”
“Payung hitam itu?” tanya Edo memastikan.
“Iya,
dimana?” aku mulai tak sabar. Payung yang kuletakkan begitu saja di
samping meja kerjaku yang bersebelahan dengan meja kerja Edo, raib.
“Barusan dipinjam Fira.” Jawab Edo.
“Kenapa dipinjamkan, sih. Payung itu ‘kan mau kubuang.” Nada suaraku meninggi.
“Maaf
kalau aku nggak bilang kamu dulu, soalnya tadi Fira buru-buru mau
pulang. Sebelum dibuang, dipinjam Fira dulu apa salahnya?”
“Gawat!” teriakku sambil bergegas menyusul Fira. Edi melongo keheranan. Ada sedikit perasaan bersalah dihatinya.
***
Aku
berlarian di bawah hujan. Mencari sosok yang begitu kukhawatirkan
keadaannya. Fira. Dimana kau sebenarnya. Apakah kau tahu kalau kau
sedang dalam bahaya? Batinku sambil menahan perasaan panik yang
membuncah.
Tak henti-hentinya kuedarkan pandang menyapu setiap
sudut tempat yang kulewati. Sepanjang trotor, ruko-ruko, perempatan, dan
tempat lainnya yang mungkin di lewati Fira. Fira pasti belum jauh.
Hiburku dalam hati. Tak peduli tubuhku telah kuyup oleh hujan bercampur
peluh, yang penting Fira ketemu. Juga payungku.
Aku
hampir putus asa. Sampai di taman kota, kira-kira dua kilometer dari
kantor, sosok Fira tak juga kutemui. Padahal sudah kususuri jalan menuju
rumah Fira. Ah, jangan-jangan Fira naik angkot. Tidak mungkin, Fira
sangat senang jalan kaki. Katanya menyehatkan. Meskipun hujan. Hatiku
berdebat. Sementara itu perasaan panik, takut, dan kekhawatiranku
semakin menjadi.
Tiba-tiba.
“Fira...!!”
Fira menoleh, segera aku berlari mendekat.
“Den, kenapa hujan-hujanan?” tanya Fira heran. Ia menaungkan payungnya kearahku. Kami berdua berada di bawah payung yang sama.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” pertanyaan Fira kuabaikan.
“Aku baik-baik saja.” Matanya berbinar, segaris senyum muncul menghiasi wajahnya.
“Payungnya, em.. payungnya..” Aku kehabisan kata-kata. Aku tak pernah sedekat ini dengan wanita. Kecuali ibuku.
“Payungnya kenapa?”
“Nggak,
kamu boleh memakainya.” Aku grogi, salah tingkah. Lantas berbalik
meninggalkan Fira setelah sebelumnya kuberi isyarat perpisahan. Aku lupa
pada niat awalku mengambil payung hitam itu.
***
Fira Rosiana
12 Februari 1987-28 Oktober 2011
Kutatap
batu nisan baru beserta gundukan tanah merah yang masih basah. Air mata
tak mampu lagi kukeluarkan. Menangispun tak mampu menghidupkan Fira
kembali. Fira telah pergi. Dan semua ini salahku. Sampai detik ini,
sesal masih menghuni setiap sudut hatiku. Seandainya waktu itu aku tak
lupa...
Payung itu, payung kutukan. Ibu, Kakak, dan Fira.
Orang-orang yang aku sayangi. Mereka meregang nyawa di bawah payung itu.
Seharusnya payung hitam itu kulenyapkan sejak dulu!
Kubalikkan badan. Kulihat banyak orang memakai payung hitam. Mereka menatapku aneh.
“Aaaaaaargh....!!”
***
Batang, 28 Oktober 2011
1 komentar:
sulit dicerna oleh saya, he he
Posting Komentar