"Kurnia Hidayati dan Senandika Pemantik Api" esai Julaiha S (Harian Waspada Medan, 2 Agustus 2015)
Kurnia
Hidayati dan Senandika Pemantik Api
Oleh:
Julaiha S.
Munculnya
sebuah intrik biasanya timbul dari orang-orang sekitar yang iri dan penuh
dengan hidup kedustaan. Masalah hati akan semakin merah jika terus disulut
dengan persoalan di sekeliling. Kurnia hidayati merupakan salah satu penyair
yang mampu menampilkan masalah. Mengenai masalah, kajian resepsi
sastra merupakan kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna
terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan, baik tanggapan pasif maupun aktif.
Dengan adanya masalah, Kurnia berhasil menyusun beberapa puisinya dalam bentuk
antologi puisi “Senandika Pemantik Api”.
Membaca puisi Senandika Pemantik
Api, sepintas membuat penulis mengarahkan pena pada unsur yang sangat
menentukan untuk pemahaman puisi tersebut. Pertama adalah judulnya yang
merupakan roh dalam puisi tersebut. Pemakaian judul Senandika Pemantik Api
mengarahkan bahwa hal ini beurusan dengan ‘api’ yang sudah dikenal, namun masih
tetap menjaga ketahanan puisi melalui isi dari puisi tersebut. Kedua adalah
menentukan interpretasi puisi melalui hubungan aku-kau yang keberadaannya tidak sama. Barangkali kata Aku lebih menjelaskan kehidupan nyata
yang kerap dihadapi oleh manusia saat ini. Sedangkan, kata kau berada dibalik kulit puisi tersebut. Makna tersirat yang
melekat dalam kata kau, menjadikan
puisi ini meluas dan tidak terlibat pada satu pihak saja. Dapat dikatakan bahwa
hal ini terjadi kepada semua orang yang telah mencoba bermain dengan ‘api’ yang
dimaksudkan.
Wanita yang meraih beberapa
penghargaan dibidang menulis ini berhasil mencicipi persoalan sifat dan
tindakan setiap orang, kemudian mengemas-keemasan dalam beberapa puisinya ini.
Namun dapat dirasakan secara ‘kental’ pada puisinya yang berjudul “Senandika
Pemantik Api”. Perempuan yang lahir di Batang, Jawa Tengah ini memulai puisinya
dengan benda-benda. Kepada benda-benda/
kutitipkan hasrat paling membakar// Sebuah perjalanan hidup yang memiliki
lika-liku, fajar dan petang, riang dan susah adalah benda yang hidup di dalam
hati manusia, perhatikan, /seteru di
tubuh tungku/ teror di kepala kompor/ kubikin kandas kertas-kertas, entah buku,
entah majalah, entah folio entah hvs, entah tumpukan, entah lembaran//.
Sejarah akan abadi jika ditulis, nama akan kekal jika tertanam dalam tulisan.
Namun, api dapat membuat kehidupan sejarah lebur menjadi abu. Permainan api
yang tidak dapat dijaga, kerap menghasilkan masalah.
Relasi aku-kau yang dipadukan dalam puisi Senandika Pemandik Api ini menggambarkan sebuah siasat. Siasat yang
terbangun merupakan petunjuk untuk memahami tentang perasaan. Sesuatu hal yang
akan dilakukan juga kerap memiliki petunjuk agar tidak salah dan berlebihan
dalam penggunaannya. Secara harfiah, api dapat membesar dan ganas jika tidak
dijaga dengan hati-hati. Sama seperti perkataan Kurnia dalam larik berikut, Kukobarkan pula bentok diujung-ujung rokok/ selama orang menyesap
pada pangal dan lesapkan nyalanya di gigir asbak//. Relasi aku-kau yang dapat dipahami tidak hanya
sebagai wujud orang, aku juga dapat
dikatakan benda yang bercerita tentang api yang tidak mampu menjadi ‘sahabat’.
Larik-larik maka, berhati-hatilah kepadaku/ jika manfaat telah jadi khianat, dan
timbul syahwat maksiat/ serta tubuhku tersesat dan salah tempat// menggunakan
barang, selain memiliki petunjuk juga memiliki peringatan untuk menjaga pemakai
agar tetap dalam keadaan baik. Sama halnya dengan aku yang berupaya memberi keselamatan. Ya, barangkali jika manfaat
telah jadi khianat, maka akan lahir perpecahan dan perceraian.
Selanjutnya,
akan ada belenggu abu dan petaka/ yang
bersiap membakar dan membinasakan siapa saja// menjadi penutup yang padat
dan tegas. Larik terakhir itu menjadi tombak penuntasan penyair. Jika berkaitan
dengan masalah, maka ini adalah keputusan yang diambil melalui ‘petunjuk dan
peringatan’. Larik terakhir ini juga tidak semata menjadikan dirinya adalah
sosok yang perkasa dan kuat, dengan membakar dan membinasakan siapa saja.
Melainkan sebuah argumen renyah untuk tidak sembarang dikunyah.
Jika
melihat dari wujud penyair sebagai seorang perempuan, maka Senandika Pemantik Api yang dimaksudkan dapat dilambangkan sebagai
penindasan yang dirasakan perempuan. Sama seperti pernyatakan Rosemarie Tong,
seorang tokoh feminis mengenai periode gerakan feminisme, Senandika Pemantik Api merupakan bentuk gerakan feminis
eksistensial yang memperjuangkan eksistensi seorang perempuan. Pemakaian bahasa
penyair begitu imajis. Terlihat kekayaan imaji yang tidak cukup disifatkan
dengan kata metafore atau kiasan: kepala
kompor, tubuh tungku, intrik melumer melengkapi varian makna yang dapat
ditelaah pembaca. Akhirnya Senandika
Pemantik Api memperlihatkan dirinya. Dan Kurnia telah berhasil menjadi
tampan dengan racikan kata-kata walau pada kenyataannya merupakan seorang yang
cantik.
*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan
Sastra Indonesia,
0 komentar:
Posting Komentar